Pengangkatan Syahpur Bakhtiar tidak membuat situasi Iran lebih baik, meskipun semua tuntutan rakyat Iran dituruti, seperti dicabutnya SOB (Undang-Undang Bahaya), penghentian penjualan minyak Israel dan Afrika Selatan, dan pemerintah tunduk kepada Deklarasi Dunia tentang HAM. Selanjutnya, pada 19 Januari 1979, jutaan orang demonstrasi menuntut Syahpur Bakhtiar mundur dari Perdana Menteri dan meminta Khomeini pulang memimpin negeri Iran. Rakyat Iran tersinggung dengan pernyataan Syahpur yang mengatakan: “Saya tidak mau mundur, saya Perdana Menteri dan saya akan tetap menjabatnya, bukan pupulance”.
Maka dari itu, ilusi tentang militer yang tak terkalahkan telah hancur dalam waktu semalam. Revolusi Iran telah menghempaskan tentara terbesar kelima di dunia, tentara yang ditopang oleh imperialis Amerika karena kepentingan vitalnya terlibat dalam peran kunci ini di Timur Tengah. Tetapi dalam kenyataannya, tekanan dari rakyat begitu intensif sehingga tentara perkasa ini luluh lantak berkeping-¬keping seperti sebuah gelas anggur yang jatuh dari meja dalam suatu pesta mabuk.
Pada saat Khomeini kembali dari pengasing¬annya di Paris pada 1 Februari 1979, perjuangan mela¬wan Syah secara efektif telah selesai. Kondisi negara telah benar-benar terdisintegrasi dan kekuasaannya tumpah ke jalanan, menunggu seseorang untuk memungutnya. Meskipun tokoh karismatik tersebut tidak memainkan peranan secara langsung dalam menggulingkan Syah, ada orang-orang yang berkeinginan untuk mem¬berinya sebuah peran pemuka. Sebagai konsekuensinya, dia dipertemukan dengan para perwira yang men¬janjikannya duku-ngan dari unit-unit utama angkatan bersenjata. Elit militer berkeinginan untuk mendapatkan kembali kendali dan “ketertiban”.
Di seluruh pelosok negeri, terjadi desersi setiap hari, dan ketika Syahpur Bakhtiar menggunakan polisi militer serta Prajurit Istana untuk melawan sekelompok pemberontak yang meru¬pakan para kadet angkatan udara, meletuslah pertem¬puran. Pemberontakan menyebar ke seluruh penjuru unit militer. Satu kubu dari Front Nasional yang dipim¬pin oleh Mehdi Bazargan, Sayap Militan Khomeini dan beberapa kelompok ultra-kiri (Marxis Feda’iyani-i Khalq dan Mojahedin-I Khalq), bergabung dengan para pemberontak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka meluluhlantakkan mesin perang Syah, merampas pabrik persenjataan, pangkalan militer, stasiun televisi, penjara serta parlemen.
Akhirnya, pada 3 Pebruari 1979, di muka umum dan wartawan Khomeini meng-umumkan pembentukan “Dewan Revolusi” dan meminta Syahpur Bakhtiar mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, sebab kalau tidak, Khomeini mengancam akan ada perang suci. Syahpur pun akhirnya mengundurkan diri, dan jabatannya kemudian diserahkan kepada Mehdi Bazargan. Dinasti Pahlevi yang mulai didirikan pada 1925, akhirnya dapat ditumbang-kan dengan kekuatan revolusi. Tumbangnya Dinasti ini sekaligus juga tumbangnya sistem monarki yang sudah 2000 tahun diterapkan di Iran.
Revolusi Iran tersebut mengandung makna atau pengaruh yang bersifat global. Untuk pertama kalinya di era modern, tokoh-tokoh agama (ulama) mampu dan berhasil melawan sebuah rezim modern, dan mengambil alih kekuasan negara. Untuk pertama kalinya implikasi revolusioner Islam, yang sampai sekarang terpendam dalam masyarakat nasab dan masyarakat kesukuan, berhasil direalisasikan dalam sebuah masyarakat industrial modern. Revolusi, tidaklah mesti berasal dari kelompok haluan kiri, melainkan bisa jadi dari kelompok masyarakat keagamaan; tidak mesti atas nama sosialisme, tetapi bisa jadi atas nama perjuangan Islam. Peristiwa revolusi Iran telah menggetarkan pola hubungan antara rezim negara dan gerakan keagamaan dan menyingkirkan keraguan akan masa depan, tidak hanya masa depan Iran, melainkan juga masa depan seluruh masyarakat Iran.
SELESAI.
No comments:
Post a Comment