Saturday, May 23, 2009

GO TO HELL OTORITARIANISME! bag.5

D. Peristiwa Revolusi Iran

Tanda-tanda kejatuhan Dinasti Pahlevi mulai terlihat pada awal tahun 1977. Pada saat itu, Presiden Amerika yang baru dilantik, Jimmy Charter, menjadikan isu Hak Asasi manusia sebagai arah dalam kebijakan luar negerinya. Iran sebagai salah satu sekutu Amerika harus menerima kebijakan itu kalau ingin bantuan Amerika kepada Iran pada sektor ekonomi dan militer tetap berlanjut. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau, rezim Syah harus mengikuti kebijakan Amerika karena secara faktual Iran sangat tergantung kepada Amerika. Pada Pebruari 1977, Syah melepaskan 357 tahanan politik. Sayangnya, kebijakan yang cukup populer ini tidak diikuti dengan kesungguhan Syah untuk mengungkap segala penyiksaan dan penindasan yang telah ia lakukan terhadap para lawan politiknya. Pada sisi lain, isu HAM yang dihembuskan Amerika, memicu para jurnalis untuk menuntuk kebebasan berpendapat dan pers. Para pengacara juga menuntut dihapuskannya pengadilan militer yang biasa digunakan untuk mengadili para narapidana politik. Sebagian kelompok massa lain menggelar demonstrasi untuk menuntut diakhirinya rezim Syah yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran HAM berat selama berkuasa. Massa demonstran pun bentrok dengan polisi yang mengakibatkan banyak peserta demonstrasi tertembak aparat. Kemudian, kelompok pengacara yang berjumlah 120 orang mempublikasikan kejadian tersebut yang diduga keras didalangi oleh SAVAK. Tim independen yang terdiri dari pada akademisi pun dibentuk untuk mengusut kasus itu sekaligus mengusut pula aneka kekejaman yang dilakukan oleh SAVAK pada masa-masa yang lalu. Atas perkembangan ini, Syah semakin keras menekan dan mengintimidasi baik para pengacara maupun anggota tim tersebut.


Di akhir bulan Oktober 1977, di kota Najaf, putra Imam Khomenei, Mustafa, ditemukan tewas di tempat tidurnya. Pihak pemerintah melarang dilakukan otopsi terhadap jenazah Mustafa, sehingga siapa pembunuhnya menjadi misteri. Tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang membunuh adalah pihak SAVAK. Kejadian ini menjadikan para mahasiswa di Qum yang berjumlah 4000 orang melancarkan aksi demonstrasi pada Januari 1978. Para aparat kepolisian pun bertindak represif. Mereka menyerang para demonstran dengan senjata sehingga sejumlah tujuh puluh demonstran meninggal.

Demonstrasi yang dilancarkan para mahasiswa di Qum melawan aksi pembunuhan tanpa sebab yang dilakukan oleh pasukan SAVAK menjadi pemicu gerakan massa yang lebih revolusioner. Polisi sekali lagi bertindak represif dengan menembaki para demonstran sehingga memancing gelombang demonstrasi berikutnya yang lebih besar. Para demonstran itu mengutuk tindakan aparat keamanan rezim yang beringas sambil mengelukan para korban yang berguguran selama ini.

Setiap hari dalam empat puluh hari terjadi gerakan protes dan demonstrasi dan skalanya semakin besar, hingga mencapai puncaknya pada 10 Muharram, bertepatan dengan 1 Desember 1978. Saat itu ratusan ribu orang turun ke jalan memperingati terbunuhnya Imam Husein di padang Karbala. Sambil berteriak “Allahu Akbar” terus menerus, dari masjid-masjid, rumah-rumah dan jalan-jalan di berbagai wilayah diiringi dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari jabatannya. Demonstrasi yang sebenarnya adalah upacara ritual berubah menjadi kerusuhan setelah tentara memblokir jalan-jalan dan menembaki para demonstran. Versi pemerintah jumlah korban dalam kerusuhan itu hanya ratusan orang saja, tetapi menurut orang-orang Teheran, korban tewas mencapai 4000 orang lebih.

Hampir seluruh rakyat Iran yang terdiri dari berbagai latar belakang dan faksi politik bersatu dalam aksi-aksi demontrasi itu. Kelompok sekuler yang antara lain direpresentasikan oleh Front Nasional dan para anggota Partai Tudeh bersinergi dengan kelompok yang berorientasi Islam yang direpresentasikan oleh para pendukung Imam Khomenei maupun Ali Syari’ati. Para buruh dan pekerja profesional, guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, petani dan nelayan, semuanya saling bahu-membahu tidak putus-putusnya selama tahun 1978 sampai Pebruari 1979 melancarakan aksi-aksi kolosal menentang Syah.

Imam Khomenei terus memompa semangat perlawanan di tempat pengasingannya di Paris. Ia secara rutin mengirim pidato-pidato politik yang berisi kecaman-kecaman terhadap Syah untuk membakar semangat massa dalam melakukan perlawanan terhadap rezim. Pidato-pidatonya itu dikirim dalam bentuk rekaman kaset maupun pamflet yang dibawa ke Iran oleh para agen Khomeini. Sang Imam memang saat itu benar-benar menjadi idola yang dielu-elukan pada demonstran, apalagi setelah tokoh muda pembakar semangat perlawanan, Ali Syari’ati meninggal dunia pada tahun 1977. Sehingga praktis tinggal Khomenei yang menjadi tumpuhan harapan sebagai tokoh perlawanan.
Kematian Ali Syari’ati sendiri memicu semangat perlawanan dari para pendukungnya yang menuduh rezim Syah lewat agen rahasianya, SAVAK, berada di balik kematian ini. Respon atas kematian Ali Syari’ati tidak hanya di dalam negeri Iran tetapi juga di luar negeri. Di Paris, pada satu peringatan kematian Syari’ati, dengan diorganisisir oleh anggota keluarga Syari’ati dan teman-teman seperjuangannya, telah berubah menjadi peristiwa politik anti-Syah yang sukses dan efektif. Gambar besar Ali Syari’ati, Khomeini, Mossadeq, Taleqani dan Montazeri, bersama gambar para pendiri Mojahedin, diusung oleh para peserta prosesi peringatan. Di Rumah Imam Musa Sadra, setelah peringatan di Sekolah Menengah Atas Ameliat, para partisipan dari Iran yang antara lain Sadeq Thabataba’i, Gadbzadeh, Chamran, Qarazi, Do’a’i dan Muhammad Montazeri, memutuskan mempertahankan momentum politik yang telah tercipta berkat berbagai peristiwa menyusul kematian Syari’ati.

Kelas pekerja atau buruh mempunyai peran yang cukup signifikan dalam serangkaian aksi menentang Syah tahun 1978-1979. Ekonomi Iran yang sangat sukses mendorong penguatan kolosal dari kaum pegawai dan buruh. Meningkatnya pendapatan minyak bumi mendorong suatu kemajuan yang menakjubkan dalam industri Iran, yang terakselerasi setelah lompatan harga minyak tahun 1973. Produksi Kotor Nasional (Gross National Product/GNP) naik hingga 33,9 persen pada tahun 1973 - 1974, dan pada tahun 1974 - 1975 adalah 41,6 persen jauh lebih tinggi. Industri juga meningkat dengan pesat, dan be¬rikut ukuran serta kekuatan dari kelas pekerjanya. Maka, dengan kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, rezim dalam hal ini telah mempersiapkan lubang kuburnya sendiri dalam wujud munculnya kaum buruh Iran yang kuat. Bukan hanya karena kelas pekerja telah berkembang sedemi¬kian besar, tetapi juga karena mereka begitu segar dan muda. Akan tetapi, sejalan dengan luapan pertumbuhan industri yang pesat, segala kontradiksi sosial menjadi terus-menerus menajam. Inflasi melonjak cukup tinggi dan menjadi alasan bagi timbulnya peristiwa kerusuhan kolosal tahun 1977. Dalam kondisi kesulitan hidup masyarakat yang memuncak, pemerintah di tahun 1976 meng¬umumkan adanya program penghematan (pengen¬cangan ikat pinggang). Ketika Syah memutuskan un¬tuk menghentikan program pembangunan, proyek¬-proyek ekspansi industri dipotong hingga 40 persen. Kebijakan itu sendiri memiliki arti bahwa lebih dari 40 persen tenaga tidak terampil dan 20 persen tenaga te¬rampil tergusur oleh pemutusan hubungan kerja. Seiring dengan membubungnya tingkat pengangguran, gaji pun merosot drastis dan pemerintah menarik kembali keuntungan yang sebelumnya telah diberikan kepada buruh. Reaksi dari kelas pekerja disalurkan dalam gerakan aksi mogok yang terus menguat terjadi di Abad¬an dan BehSyahr. Para buruh tekstil menuntut kenaikan upah dan insentif.

Aksi buruh yang sangat memukul ekonomi Iran adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja di kilang minyak. Aksi ini menyebabkan kerugian sampai ratusan jutaan dollar. Pihak Syah sendiri mengancam akan menembak di tempak para pekerja jika mereka melakukan aksi serupa, tetapi ancaman ini tidak digubris para pekerja dan mereka terus melakukan aksi-aksinya. Aksi ini meluas diantara para pekerja yang berada di sektor lain, seperti sopir, buruh kasar, petugas transportasi, sampai akhirnya para dokter dan perawat ikut terlibat dalam aksi mogok.

Secara detail aksi para buruh di atas dilandasi oleh peristiwa tanggal 8 September 1978 yang juga disebut sebagai Jumat Kelabu. Saat itu para aparat keamanan melakukan pembantaian atas ribuan demonstran di Teheran. Sebagai jawabannya, para buruh melakukan pemogokan. Pemogokan itu adalah percikan yang menyulut dinamit yang telah terpasang di seluruh pelosok negeri. Pada tanggal 9 September 1978, para pekerja kilang minyak di Teheran mengeluarkan seruan pemogokan untuk mengung¬kapkan solidaritas terhadap pembantaian yang dilakukan sehari sebelumnya dan menentang diber¬lakukannya undang-undang negara dalam keadaan ba¬haya. Tepat pada keesokan harinya, pemogokan telah menjalar luas seperti api yang tidak bisa dijinakkan ke Shiraz, Tabriz, Abdan dan Isfahan. Para buruh penyu¬lingan minyak melakukan mogok dimana-mana. Tuntutan ekonomi dari kaum buruh dengan cepat dirubah menjadi tuntutan politik: “Turunkan Syah!” “Bubarkan SAVAK!”, “Marg Ber, imperialis Amerika!” Kemudian pekerja minyak Ahwaz mengadakan mogok, diikuti oleh buruh non-minyak di Khuzistan yang ber¬gabung dengan pemogokan pada akhir September. Di atas segalanya, gerakan para buruh minyaklah yang kemudian disebut sebagai kelompok istimewa dari kelas pekerja di Iran, yang paling menentukan dalam peng¬gulingan rezim. Ketika ritme gerakan mogok diperhebat dan diperpanjang, karakternya juga mulai berubah. Semua bidang-bidang kerja baru pun ditarik ke dalam perjuangan: para pekerja dari sektor publik-guru, dokter, karyawan rumah sakit, pegawai kantor, pegawai di kantor pos, perusahaan telepon dan stasiun televisi, serta para pegawai dari perusahaan tansportasi, jalan kereta api, bandar udara domestik dan bank semua bergabung dengan gelombang raksasa yang tengah bergolak.

Pemogokan di Bank Sentral Iran berdampak sangat efektif melumpuhkan ekonomi Iran. Hal ini diikuti dengan pembakaran ratusan bank oleh massa yang telah kalap oleh amarah. Ketika pegawai bank melakukan mogok, mereka mengungkapkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, seribu juta dollar telah dilarikan ke luar negeri oleh 178 anggota elit pemerintahan, termasuk keluarga Syah. Syah yang sedang sibuk mengadakan persiapan untuk sebuah pengasingan yang nyaman, telah mengirimkan keluarganya ke luar negeri, dan mentransfer satu milyar dollar ke Amerika (ini adalah tambahan dari satu milyar dollar atau lebih yang disimpan di Bonn, Swiss dan di bagian dunia lainnya).

Sebagaimana telah di tulis di muka, gelombang pasang pemo¬gokan telah melumpuh-kan mesin kenegaraan; para pegawai negeri juga melakukan aksi mogok. Akan tetapi pemogokan buruh minyak yang hebat selama tiga puluh tiga hari¬lah yang hampir melumpuh-kan segalanya. Fakta ini dengan sendirinya memperlihatkan kekuatan kolosal dari kaum proletar Iran: satu pemogokan tunggal barisan buruh minyak menyebabkan pemerintah menelan kerugian tidak kurang dari tujuh puluh empat juta dollar perhari berupa pendapatan yang hilang. Buruh minyak bumi telah memotong urat nadi utama penyalur pendapatan negara.

Gambaran atas revolusi yang terjadi di Iran, mengingatkan banyak orang akan peristiwa serupa yang telah terjadi di Prancis, China, Kuba, dan Rusia. Gerakan revolusi yang telah mereka lakukan mempunyai pola yang kurang lebih sama. Dimulai dengan adanya pemimpin yang otoriter dan absolut, kemudian muncul perlawanan dari kelompok yang selama ini paling disengsarakan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang dhalim. Dalam hal ini Leon Trotsky menulis dalam Sejarah Revolusi Rusia:
“The most indubitable feature of a revolution is the direct interference of the masses in historic events. In ordinary times the state, be it monarchical or democratic, elevates itself above the nation, and history is made by specialists in that line of business—kings, ministers, bureaucrats, parliamentarians, journalists. But at those crucial movements when the old order becomes no longer endurable to the masses, they break over the barriers excluding them from the political arena, sweep aside their traditional representatives, and create by their own interference the initial groundwork for a new regime. Whether this is good or bad we leave to the judgement of moralists. We ourselves will take the facts as they are given by the objective course of development.The history of a revolution is for us first of all a history of the forcible entrance of the masses into realm of rulership of their own destiny.”

(Fitur sebuah revolusi yang paling tidak bisa diragukan adalah interferensi langsung oleh rakyat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Pada saat-saat biasa, negara, apakah itu berbentuk monarkhi ataupun demokrasi, mengangkat dirinya sendiri di atas bangsa, dan sejarah dibuat oleh para spesialis dalam urusan semacam itu - raja, para menteri, birokrat, anggota par¬lemen, wartawan. Namun pada gerakan krusial itu, ketika tatanan yang lama tidak lagi bisa diterima oleh masyarakat, maka mereka akan menghancurkan hambatan yang membatasi mereka dari arena politik, mengesampingkan wakil tradisional mereka, dan menciptakan, dengan interferensi mereka sendiri, landasan kerja awal bagi sebuah rezim baru. Apakah hal ini baik atau buruk, kita serahkan penilaiannya kepada para moralis. Kita sendiri akan mengambil kenyataan sebagaimana yang mereka berikan dengan tingkat perkembangan yang obyektif. Sejarah sebuah revolusi bagi kita adalah menjadi prioritas dari yang lainnya, sebuah sejarah masuknya masa yang tidak bisa dihindarkan ke dalam tataran pemerintahan yang diperuntukkan bagi nasib mereka sendiri.”)

Basis material dari Revolusi Iran terletak pada kemajuan kekuatan-kekuatan produktif dan perubahan yang telah dilakukan dalam kapitalisme Iran di seluruh periode sebelumnya. Syah kehilangan dukungan dari segenap kelompok massa, kaum petani, intelektual, kelas menengah dari berbagai lapisan dan kelompok yang paling berhawa jahat, tentara. Negara sendiri terguncang oleh kerasnya pukulan gerakan yang dilancarkan massa. Hari demi hari demonstrasi terus menerus dan mobilisasi massa yang telah jauh melanggar batas kehidupan normal. Massa menyerang kedutaan Inggris dan Amerika sembari membakar ribuan bendera Amerika. Boneka patung Presiden AS Jimmy Carter dan Syah digantung ribuan kali menghiasi setiap pojok jalan setiap kota Iran. Syah menjadi simbol dari bercokolnya tatanan yang dibenci dan represi SAVAK yang berdarah.

Negara dalam analisis paling mutakhir, sebagaimana yang diterangkan oleh Marx dan Lenin, terlengkapi dengan lembaga angkatan bersenjata berupa barisan tentara dengan segenap peralatan dan senjata mereka. Dalam setiap masyarakat kelas, komposisi tentara dibentuk dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam, dan merefleksikannya secara, kurang lebih, jujur. Di masa-masa biasa, angkatan bersenjata bercokol tak tertandingi, tak tertembus dan kompak. Bagai¬manapun juga, selama masa revolusi, ketika angkatan bersenjata mengalami stres dan ketegangan yang hebat, maka dengan segera keretakan dan patah struktur mereka akan tampak membayang, dan akhirnya cenderung membelah sesuai dengan garis kelas pada momentum-momentum revolusi yang krusial. Kerekatan di tubuh tentara bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi, tergantung pada intensitas tekanan dari gerakan massa.

Seperti yang telah disaksikan oleh umat manusia dalam setiap revolusi di sepanjang sejarah, angkatan bersenjata bisa beralih mendukung ke pihak rakyat. Tendensi di dalam tubuh angkatan bersenjata untuk mengalami perpecahan sesuai dengan garis kelas, adalah proporsional dengan polarisasi dalam masyarakat kelas, manakala rakyat berjuang merebut kekuasaan negara. Sebuah artikel dalam majalah Amerika, Newsweek, berkomentar tentang barisan massa penuh amarah yang telah berkumpul di Jaleh Square bereaksi menentang diberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya dengan meneriakkan slogan-slogan’ yang menentang rezim:

“When they came close, the armed forces ordered the demonstrators to disperse but instead of retreating, the demonstrators disobeyed the order and went on to cross the warning line, slowly choking from teargas fumes, but unwilling to go back. Finally the troops raised their guns, firing bursts into the air, but even then the mob edged closer to the ranks of the troops. And the troops lowered their sight and, when the crowd kept coming, sprayed the demonstrators with round after round.”Splits in the army on class lines do not arise as a simple process but, on the contrary, pass through a series of processes, leading to inner differentiation. The lower ranks of the armed forces tries to gauge the attitude of the masses, observing their commitment, their utter decision to go to the very end to change the old order, their heroic scarifies. At this juncture, once the soldiers realise that the masses are in earnest, they refuse to obey the orders of their officers and join the ranks of the masses, taking weapons with them. And this was exactly what happened in Iran. When thousands of mourners marched to the gate of Teheran’s Besheste Zahra cemetery shouting slogans against the Shah attacked an armoured car, a major came out and shouted: “We have no intention of killing you! You are our brothers!” and offered his weapon to the mob: “Here, take my gun and kill me if you wish!” The mourners cheered and shouted slogans of unity against regime.

(Ketika mereka telah mendekat, tentara memerintahkan para demonstran untuk membubarkan diri, tetapi bukannya mundur, para pengunjuk rasa malah mengabaikan perintah dan terus maju melewati garis peringatan, perlahan-lahan tersedak karena asap gas air mata, tetapi tidak mau kembali. Akhirnya para serdadu mengangkat moncong senjata mereka, menembakkan tembakan peringatan ke udara, meski demikian kerumunan bahkan semakin mendekati pagar betis prajurit tersebut. Dan para tentara menu¬runkan pandangan mereka dan, ketika kerumunan tersebut terus bergerak maju, maka menghamburlah para demonstrator dengan berondongan demi beron¬dongan peluru. Perpecahan dalam tubuh tentara sesuai dengan garis kelas tidak muncul dengan proses yang sederhana, tetapi sebaliknya, melalui serangkaian proses, yang mengarah kepada diferensiasi di dalam. Tentara tingkat terbawah mencoba untuk mengira-ngira perilaku massa, sembari menjalankan komitmen mereka, melaksanakan keputusan bulat mereka untuk menjalani hingga akhir untuk mengganti perintah ketua mereka, dengan ketersinggungan mereka. Tepat di persimpangan ini, begitu para serdadu menyadari bahwa massa bersungguh-sungguh, mereka menolak untuk mematuhi perintah dari perwira dan bergabung dengan rakyat, dan mengangkat senjata bersama-sama. Dan inilah apa yang sesungguhnya terjadi di Iran. Ketika ribuan orang pela¬yat berarakan menuju gerbang pemakaman Beheste Zahra di Teheran, meneriakkan slogan-slogan menentang Syah, dan menyerang sebuah kendaraan lapis baja, seorang mayor keluar dan berteriak: “Kami tidak mempunyai keinginan untuk membunuh kalian! Kalian adalah saudara kami!” dan memberikan sen¬jatanya kepada kerumunan tersebut: “Ini, ambil senjata saya dan bunuhlah saya kalau anda mau!” Orang-¬orang yang sedang berbelasungkawa bersorak sorai dan meneriakkan slogan-slogan seruan persatuan melawan rezim.)

Terdapat insiden lain semacam itu. Beberapa serdadu wajib militer menembak perwira mereka atau melakukan bunuh diri karena diperintahkan untuk me¬nembaki para demonstran. Di pihak lain, banyak desersi dan pemberontak dieksekusi oleh Savak.
Di Iran tank-tank dipangkalkan di sekeliling istana untuk pertama kalinya sejak 25 tahun lalu. Syah sendiri mengutarakan kepada Newsweek: “We were I think in a very grave situation last Thursday,and it was very close. The people were not abiding by the law. They were not paying the slightest attention to the government’s warnings. As a matter of fact, they could have occupied everything they wanted.” (”Saya pikir kami dalam sebuah situasi yang mengerikan Selasa kemarin, dan hampir saja semuanya berantakan. Orang-¬orang tidak memperdulikan hukum. Mereka tidak mengacuhkan sedikitpun terhadap peringatan peme¬rintah. Faktanya, mereka bisa saja menguasai apapun yang mereka inginkan”).

Setelah terjadinya perpecahan yang terjadi dalam tubuh tentara, Syah kehilangan semua kendali terhadapnya. Dalam kepanikan, setelah ragu pada awalnya, ia melakukan langkah terakhir untuk tetap memegang kendali kekuasaan, menunjuk Syahpur Bakhtiar dari Front Nasional sebagai perdana menteri. Akan tetapi manuver tersebut gagal dan krisis tersebut menjadi lebih parah. Pada tanggal 16 Januari 1979, negara ini dalam sebuah keadaan pergolakan revo¬lusioner. Tidak ada harapan yang tersisa bagi Syah, yang pada akhirnya harus terbang meloloskan diri dengan pesawat terbang ke Mesir. Sebelum meninggalkan Iran, Syah membentuk Dewan Negara pada 13 Januari 1979 dengan jumlah anggota sembilan orang. Syah memasukkan orang-orang kepercayaannya ke dalam Dewan Negara sebelum meninggalkan negeri Iran dengan harapan suatu saat Syah bisa kembali berkuasa setelah krisis usai. Sehari kemudian – setelah terbentuk Dewan Negara - , Ibu, keluarga dekat dan anak-anak Syah lebih dulu meninggalkan Iran menuju Los Angeles. Di sana mereka disambut demonstrasi oleh para pelajar dan pekerja Iran yang berada di Amerika serta warga Amerika yang simpati dengan perjuangan penggulingan Syah.

Bersambung ke:
Setelah Dewan Negara dilantik, pada 16 januari 1979, ....dst.

Artikel Terkait

No comments:

 
;