Urgensi Menjadi Muslim Progresif
Averroes Dalam Kenangan*
Desember yang lalu beberapa institusi budaya dan filosofis memperingati wafatnya seorang tokoh Ahli filsafat (philosopher) Muslim terakhir, Averroes (Ibnu Rushd). Markas besar Goethe Institut di Berlin-
melalui rekonstruksi historis agama ( Alhayat, 11/12).
Oleh : Ahmad Wasim, S.Ag
Desember yang lalu beberapa institusi budaya dan filosofis memperingati wafatnya seorang tokoh Ahli filsafat (philosopher) Muslim terakhir, Averroes (Ibnu Rushd). Markas besar Goethe Institut di Berlin-Germany juga menganugerahi Averroes award kepada Muhammad Arkoun yang telah di amati/observasi untuk melanjutkan Pemikiran Averroes' untuk mencerahkan sebagian besar Dunia Muslim melalui rekonstruksi historis agama ( Alhayat, 11/12).
Pada ujung 1999, Institut Filosofi Orang mesir yang dipimpin oleh Hassan Hanafi mengadakan] sebuah symposium filosofis dengan tema, “Nine centuries commemorating Ibnu Rushd (Averroes); the pioneer of Arabic rationalism.” (Sembilan abad memperingati Ibnu Rushd (Averroes); pelopor Rasionalisme Arab). Symposium ini dihadiri oleh beberapa pemikir dari seantero Dunia
Sejauh penulis ketahui, belum pernah ada forum ilmiah lain yang mendiskusikan Averroes seperti symposium ini. Hal ini menunjukkan bahwa secara berangsur-angsur suatu kesadaran kolektif telah muncul yang menghargai pikiran progresif di dalam tradisi klasik itu. Averroes ditunjuk sebagai lambang kebangkitan kembali Rasionalisme dan Filosofi Arab. Ia diperlakukan sebagai seorang ahli filsafat yang telah mengembangkan suatu hubungan layak antara agama dan filosofi dan Athif ' Iraqi menyebutnya sebagai Ahli filsafat (Philosoph) Arab yang ter]akhir!
Pertanyaan yang berikutnya adalah ini: apa signifikansinya memperingati Averroes untuk Muslim, terutama Muslim Indonesia? Bagi penulis, itu mempunyai suatu arti yang dalam untuk Pemikiran Averroes' terutama tidak asing/aneh bagi lingkungan pesantren (Asrama sekolah Islam). Kebanyakan dari pesantren mengajar salah satu buku yang paling utama yang ditulis oleh Averroes, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat Al-Muqtashid. Bagi peninjau filosofis Islam (Islamic philosophical observers), Averroes adalah sebuah inspirasi ke arah "gerbang filosofi" yang terbuka, yang selama ini telah dikunci dengan ketat di dalam Tradisi Islam.
*****
Kita perlu mencatat sebuah duka cita mendalam dalam landscape religius. Di tahun 2003 beberapa peristiwa penting memalukan agama, yakni konflik religius, terorisme atas nama agama, politicisasi agama di mana orang-orang diberi label tidak setia/ kafir atas nama agama dan seterusnya. Agama telah digunakan oleh berbagai kelompok untuk menghamburkan kebencian dan kecurigaan, dan bahkan digunakan untuk menebar perselisihan di dalam masyarakat. Di sini, agama digunakan untuk kepentingan sesaat. Fleksibilitas dan manfaatnya telah hilang.
Fakta ini memaksa bahwa Masyarakat Muslim harus mengambil suatu peran penting dalam mematerializing pandangan religius yang lebih damai. Pandangan progresif yang menunjukkan bahwa etika moral Islam diperlukan. Pengajaran Islam harus mengilhami actualisasi pandangan yang mendukung keadilan, persamaan, keaneka ragaman dan peradaban.
Sebenarnya Averroes sebagai filosof, doktor, dan ulama telah menunjukkan kepada kita bagaimana caranya menjadi Muslim progresif. Menurutnya, Muslim yang baik adalah Muslim yang dapat menghadirkan jaman dimana ia hidup. Oleh karena itu, pandangan nya selalu penyegaran untuk pengertian religius yang mendalam kita seperti dicerminkan di bawah ini. Pertama, dalam kaitan dengan pluralisme ijtihad (penafsiran religius individu). Averroes adalah seorang hakim religius (qadhi) di
Ke dua adalah kebebasan untuk pikiran dan tradisi kritik. Averroes hidup di Zaman Yang Gelap dan penindasan (represi) tehadap kebebasan berfikir. Pada waktu itu, filosofi telah dikuburkan hidup-hidup terutama setelah fatwa (instruksi) tentang tidak setia (kafir) dan mengacaukan (mutahafit) oleh Imam Al-Ghazali di (dalam) Tahafut Al-Falasifah. Averroes mengkritik beberapa buku yang melarang filosofi dengan penulisan suatu buku, Tahafut Al-Tahafut. Ia mengeluarkan suatu fatwa, " pentingnya pemikiran dan berfilsafat", seperti tertulis dengan menyindir dalam Fashl al-Maqal fi MaBayn al-Hikmah wa al-Syari'ah min Al-Ittishal. Menurutnya, posisi filosofi dan pemikiran adalah sama dihadapan sharia. Kedua-Duanya adalah saudara dan berjalan menuju kepada kebenaran. Ia menambahkan bahwa masalah theology tidak bias didekati secara textual saja, tetapi haruslah didekati oleh filosofi, melalui penafsiran (takwil, analogi) yang didasarkan pada analogi demonstratif (al-qiyas al-burhany). Berdasarkan itu, Averroes menolak untuk mempertimbangkan ahli filsafat sebagai tidak setia, karena filosofi dan pemikiran adalah suatu bagian asli dari Islam. Muhammad Arkoun mempertimbangkan Averroes sebagai pelopor rasionalisme dan iman tercerahkan (ra'id al-fikr al-'aqlany wa al-iman al-mustanir), karena iman (faith) tidak menindas kebebasan untuk berfikir/pemikiran menurut Averroes.
Yang ke tiga adalah dialog antar agama. Averroes ingin bahwa filosofi bisa menjadi sebuah jembatan untuk menerima kebenaran dari yang lainnya dari agama yang berbeda . Ia menulis dalam Fashl Al-Maqal, " Jika kita temukan kebenaran dari lainnya dengan agama berbeda, kita harus menerima dan menghormati dia. Sebaliknya kapan saja kita temukan kekeliruan, maka kita harus mengingatkan dan memaafkan dia." Ia mengamati bahwa perbedaan agama itu bukanlah suatu penghalang untuk membangun sebuah dialog. Oleh karena itu, ia membaca dan berkomentar atas Filosofi Aristotelian yang berasal dari luar Tradisi Muslim. Menurut Youhanna Qalta, seorang pendeta dari gereja al-Sujud, Mesir, Averroes membuka jantung orang Kristen untuk menyambut agama lain.
Yang keempat, ada isu untuk mengendalikan kebijakan penguasa. Gagasan penting yang berasal dari digagas oleh Averroes adalah mengendalikan kebijakan penguasa. Ia mengamati bahwa authoritarianism cenderung untuk membunuh minat/keinginan kolektif. Oleh karena itu, ia selalu menentang khalifah. Lagipula ia sering menyambut kalif dengan mengatakan "Hallo saudara". Ia membayar mahal ketika sesudah itu ia memikul penyelidikan (mihnah fikriyyah) dan dikucilkan oleh Kalif ke Lucena, suatu Pulau Lautan Atlantik, di tahun 1195. Paling utama dari semua pengajaran nya adalah pentingnya mengendalikan para penguasa.
*****
Mengagumkan sekali melihat bahwa pemikiran Averroes telah diformulasikan sejak dahulu kala / sejak lama yang lalu. Ia adalah seorang pemikir unik dan jarang. Ia masih menyerap berbagai arti Islam di dalam tradisi hampir seragam, sedang ia menulis di bawah (tekanan) sebuah sistem kerajaan (monarchi) absolut.
Averroes bisa menghidupkan kembali spirit religius dalam religiositas baru kita. Kesadaran ijtihad, kebebasan berfikir, dialog antar agama dan mengendalikan kebijakan publik sedang tumbuh secara konstan/ terus menerus. Tentu saja, Averroes mengingatkan kita akan pentingnya menjadi Muslim progresif, yaitu menjadi Muslim yang menyadari peran mereka di wilayah sosial, tidak hanya dalam wilayah pribadi saja.
* Diterjemahkan dari The Urgency of Being a Progressive Muslim Averroes In Memoriam oleh ZUHAIRI Misrawi, Direktur Institut Studi Islam Progresif (LSIP) dan Koordinator Emancipatorist Islam, P3M, Jakarta. 5/1/2004
1 comment:
Naah, kalo yang ini ni aku paling ga bisa. Krn cucah nirunya. Paling aku simpulkan kemudian gas inspirasiku aku tancapkan....jadilah sebuah naskah idul fithri. dapaaat angpaoo hahahaaa... maksih makasih makasih bravo bang A'im.
Post a Comment