Tuesday, April 14, 2009

Rahasia Awet Muda



Rahasia Awet Muda



Oleh : Ahmad Wasim


Jangan-jangan kita tidak pernah baca buku yang bermutu sehingga umur kita

hanya sepanjang umur biologis saja.



Ada sebuah pertanyaan besar dalam benak kebanyakan kita (kaum revolusioner), pertanyaan besar yang sangat bertentangan dengan gerak cepat yang kita inginkan bersama.


Pertanyaan itu adalah, Kapan Institusi ini dapat bergerak dan berlari dengan kencang?


Institusi yang seolah diam, tidak bergerak, anti perubahan dan sangat senang dengan kemapanan yang salah kaprah.

Kalau ada yang bertanya, apa sih yang membuat institusi ini diam? Stagnan? Atau tidak berjalan secara progresif?


Menurut saya, jawabannya adalah; Ada disease dalam Moral-Intelektual di sini yang harus cepat cepat di amputasi. Moral-Intelektual dalam arti memadukan intelektualitas dengan nilai-nilai Moral / Etika Ilahiyah yang Maha Agung (Kebenaran Sejati/ Kebenaran Absolut-nya Hegel). Sinergi antara Moral dan Intelektual seperti inilah yang maha dahsyat sulitnya untuk dilakukan.


Suatu ketika Confusius pernah berkata :


Pada umur 15 tahun aku putuskan untuk belajar,

Pada umur 40 tahun aku tahu apa itu kebenaran,

Pada umur 60 tahun aku dapat mensinergikan kebenaran,

Pada umur 70 tahun aku baru dapat hidup bahagia dengan kebenaran.


Mungkin kata yang tepat untuk mengomentari ucapan Confusius itu adalah betapa sulitnya kita (manusia) mensinergikan bahkan hidup bahagia hanya dengan memihak kepada kebenaran, mengingat kompleksitas kehidupan yang kita hadapi dalam dunia nyata ini. Betapa seorang Confusius begitu banyak menghabiskan umur biologisnya untuk dapat hidup dengan kebenaran?


Tung Desem Waringin dalam bukunya Financial Revolution menulis bahwa seorang manusia (seorang penulis) dapat menulis sebuah buku magnum opus-nya adalah kira-kira ketika ia menginjakkan umur antara 30-40 tahun. Jadi rata-rata seorang penulis dapat mencetak buku bermutu pertama (karya besar) dalam hidupnya ketika ia berumur 35 tahun.


Kita, dapat membaca buku yang bermutu itu untuk menambah umur intelektual kita. Maksudnya, ketika kita membaca dan memahami sebuah karya monumental seorang penulis, maka sesungguhnya kita dapat memahami cara berfikir, proses berfikir dan pemikiran penulis itu dalam perjalanan hidupnya 35 tahun. Itu berarti, bahwa umur intelektual kita setelah membaca buku itu bertambah 35 tahun dari umur biologis yang kita punya saat ini. Betapa bahagianya kita, ketika kita dapat menghabiskan karya monumental (magnum opus) seorang penulis besar seperti M. Iqbal dengan The Reconstruction of Religious Thought in Islam-nya dan The Development of Metaphysic in Persia-nya, Ali Shariati dengan Hajj-nya dan konsep Roshan Fikr-nya yang sangat dahsyat, Jalaluddin Rumi dengan Matsnawi-nya dan Fihi ma fihi-nya misalnya dan lain-lainya. Dengan demikian umur intelektual kita bertambah dengan sendirinya menjadi umur biologis saat ini (33 tahun misalnya) ditambah dengan 35 tahun ditambah dengan 35 tahun ditambah dengan 35 tahun sama dengan 138 tahun saat ini. Artinya untuk memahami bagaimana hidup bahagia dengan kebanaran --tidak neko-neko dengan “politicking” busuk yang sangat menghambat kemajuan progresif itu-- kita tidak perlu menunggu umur biologis kita sampai 70 tahun (pensiun? Atau mungkin sudah meninggalkan dunia fana ini / is death?)


Dalam perspektif lain, Kita juga tidak perlu menjadikan Negara ini sekuler terlebih dulu (seperti Amerika) untuk dapat merasakan nikmatnya menjadi religius (baca: postmodernism). Bukankah kita dapat melipat pengalaman Amerika itu (baca: meniadakan) dan langsung menjadi bangsa yang “postmodern”? Bukankah itu lebih selamat untuk menjaga akidah kita dan anak cucu kita? Bukankah Fir’aun sudah cukup sebagai contoh bagi kita tentang kehancuran sebuah peradaban (Negara) minus Allah?


Maka, jangan khawatir ketika Confucius mengahabiskan begitu banyak umur biologisnya untuk memahami dan dapat merasakan betapa nikmat hidup bahagia dengan kebenaran, dengan ajaran sang Maha Benar itu. Kita cukup membaca pengalaman hidup orang-orang hebat yang kita kenal dengan membaca karya monumentalnya dan segera menjadi “dewasa” dengan umur biologis kita yang masih muda.


Bukankah Ali Shariati dan Che Guevara (yang telah menyelamatkan bangsa dari rezim penindas) itu berumur pendek? Masing-masing hanya berumur 40 tahunan, Ali Shariati di habisi oleh agen rahasia SAVAK yang pro status quo Syah dan Amerika sedangkan Che oleh tentara Bolivia-CIA? Bukankah Sang Founding Father kita Soekarno (yang teraniaya Rezim yang tidak pintar) itu di segani Amerika dan Uni Soviet pada masa mudanya? Bukankah Mahatma Ghandi (orang besar) itu bertubuh kecil?


Bukankah mereka tetap hidup di hati kita sepanjang sejarah hidup manusia? Bukankah umur intelektual mereka jauh lebih panjang dari umur biologisnya?


Suatu ketika Fatima Mernissi (Simbol Pemberontakan Wanita dari Maroko) itu di tanya tentang rahasia mengapa kulit mukanya tetap kencang dan tetap cantik. Beliau menjawab bahwa rahasia awet mudanya adalah banyak membaca. Artinya, Bukankah dengan banyak tahu kita terhindar dari stress? Bukankah Sang Maha Tahu tidak pernah stress? Terakhir, Bukankah sang Maha Benar menyuruh kita membaca? Baik ayatnya yang bersifat Kauniyah dan Qouliyah? Wallahu A’lam.



Artikel Terkait

No comments:

 
;