“When they came close, the armed forces ordered the demonstrators to disperse but instead of retreating, the demonstrators disobeyed the order and went on to cross the warning line, slowly choking from teargas fumes, but unwilling to go back. Finally the troops raised their guns, firing bursts into the air, but even then the mob edged closer to the ranks of the troops. And the troops lowered their sight and, when the crowd kept coming, sprayed the demonstrators with round after round.”Splits in the army on class lines do not arise as a simple process but, on the contrary, pass through a series of processes, leading to inner differentiation. The lower ranks of the armed forces tries to gauge the attitude of the masses, observing their commitment, their utter decision to go to the very end to change the old order, their heroic scarifies. At this juncture, once the soldiers realise that the masses are in earnest, they refuse to obey the orders of their officers and join the ranks of the masses, taking weapons with them. And this was exactly what happened in Iran. When thousands of mourners marched to the gate of Teheran’s Besheste Zahra cemetery shouting slogans against the Shah attacked an armoured car, a major came out and shouted: “We have no intention of killing you! You are our brothers!” and offered his weapon to the mob: “Here, take my gun and kill me if you wish!” The mourners cheered and shouted slogans of unity against regime.
(Ketika mereka telah mendekat, tentara memerintahkan para demonstran untuk membubarkan diri, tetapi bukannya mundur, para pengunjuk rasa malah mengabaikan perintah dan terus maju melewati garis peringatan, perlahan-lahan tersedak karena asap gas air mata, tetapi tidak mau kembali. Akhirnya para serdadu mengangkat moncong senjata mereka, menembakkan tembakan peringatan ke udara, meski demikian kerumunan bahkan semakin mendekati pagar betis prajurit tersebut. Dan para tentara menu¬runkan pandangan mereka dan, ketika kerumunan tersebut terus bergerak maju, maka menghamburlah para demonstrator dengan berondongan demi beron¬dongan peluru. Perpecahan dalam tubuh tentara sesuai dengan garis kelas tidak muncul dengan proses yang sederhana, tetapi sebaliknya, melalui serangkaian proses, yang mengarah kepada diferensiasi di dalam. Tentara tingkat terbawah mencoba untuk mengira-ngira perilaku massa, sembari menjalankan komitmen mereka, melaksanakan keputusan bulat mereka untuk menjalani hingga akhir untuk mengganti perintah ketua mereka, dengan ketersinggungan mereka. Tepat di persimpangan ini, begitu para serdadu menyadari bahwa massa bersungguh-sungguh, mereka menolak untuk mematuhi perintah dari perwira dan bergabung dengan rakyat, dan mengangkat senjata bersama-sama. Dan inilah apa yang sesungguhnya terjadi di Iran. Ketika ribuan orang pela¬yat berarakan menuju gerbang pemakaman Beheste Zahra di Teheran, meneriakkan slogan-slogan menentang Syah, dan menyerang sebuah kendaraan lapis baja, seorang mayor keluar dan berteriak: “Kami tidak mempunyai keinginan untuk membunuh kalian! Kalian adalah saudara kami!” dan memberikan sen¬jatanya kepada kerumunan tersebut: “Ini, ambil senjata saya dan bunuhlah saya kalau anda mau!” Orang-¬orang yang sedang berbelasungkawa bersorak sorai dan meneriakkan slogan-slogan seruan persatuan melawan rezim.)
Terdapat insiden lain semacam itu. Beberapa serdadu wajib militer menembak perwira mereka atau melakukan bunuh diri karena diperintahkan untuk me¬nembaki para demonstran. Di pihak lain, banyak desersi dan pemberontak dieksekusi oleh Savak.
Di Iran tank-tank dipangkalkan di sekeliling istana untuk pertama kalinya sejak 25 tahun lalu. Syah sendiri mengutarakan kepada Newsweek: “We were I think in a very grave situation last Thursday,and it was very close. The people were not abiding by the law. They were not paying the slightest attention to the government’s warnings. As a matter of fact, they could have occupied everything they wanted.” (”Saya pikir kami dalam sebuah situasi yang mengerikan Selasa kemarin, dan hampir saja semuanya berantakan. Orang-¬orang tidak memperdulikan hukum. Mereka tidak mengacuhkan sedikitpun terhadap peringatan pemerintah. Faktanya, mereka bisa saja menguasai apapun yang mereka inginkan”).
Entah karena saya percaya akan independenitas sang reporter itu, atau karena perjuangan Rakyat Iran yang begitu bergelora, atau karena dua-duanya. Baiklah.. tidak berlama-lama dan panjang lebar saya berkomentar.. Untuk membaca selengkapnya tentang SEJARAH REVOLUSI ISLAM IRAN, di bawah ini saya cantumkan tulisan lengkap dari Anjar Nugroho itu.
SEJARAH REVOLUSI ISLAM IRAN
Oleh : Anjar Nugroho
A. Sejarah Iran
Dalam sejarahnya, Iran, sebelum revolusi tahun 1979 yang menggulingkan dinasti Pahlevi, adalah bangsa yang mempunyai bentuk pemeritahan model monarki. Sejak jaman Cyrus yang mendirikan kerajaan Archaemenia pada era kuno dan Dinasti Safawi serta Dinasti Qajar, sistem pemerintahan yang ada saat itu adalah monarki. Sebenarnya Dinasti Qajar sudah meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang mengarah pada bentuk pemerintahan yang lebih demokratis melalui Revolusi Konstitusional tahun 1906, akan tetapi dinasti yang menggantikan, yakni dinasti Pahlevi mengingkari konstitusi itu dan cenderung pada bentuk pemerintahan monarki-absolut.
Revolusi Iran 1979 merupakan sesuatu yang monumental dalam sejarah Iran, bahkan sejarah umat Islam atau sejarah dunia, karena tradisi absolutisme politik dalam sistem pemeritahan monarki dapat diganti dengan sistem pemerintahan ulama bercampur dengan sistem demokrasi modern. Peristiwa penting itu sudah selayaknya mendapat apresiasi yang cukup memadai melalui kajian dan penelitian yang mendalam, untuk mendapatkan gambaran peristiwa yang komprehensif dan otentik. Maka, langkah pertama dalam mengkaji tentang revolusi Iran adalah menelisik jauh ke belakang sejarah Iran yang panjang dan berliku. Revolusi yang terjadi pada tahun 1979 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dan a-historis. Revolusi itu mempunyai akar geneologis dalam sejarah revolusi Iran pada masa silam dan sejarah bangsa itu yang kaya dan komplek.
1. Iran Pra-Islam
Iran (persia) adalah salah satu negara tertua di dunia. Sejarahnya telah dimulai sejak 5000 tahun yang lalu. Iran berada pada persilangan yang strategis di daerah Timur Tengah, Asia Barat Daya. Bukti keberadaan ma¬nusia di masa lampau pada periode Palaeolitikum Awal di pegunungan Iran telah ditemukan di Lembah Kerman Syah. Dan seiring dengan berjalannya sejarah panjang ini, Iran telah mengalami berbagai invasi dan dijajah oleh negara asing. Beberapa referensi tentang keadaan sejarah Iran dengan demikian tidak bisa dihapuskan untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang sesuai terhadap perkembangan yang terjadi selanjutnya.
Peradaban awal utama yang terjadi pada daerah yang sekarang menjadi negara Iran, adalah peradaban kaum Elarnit, yang telah bermukim di daerah Barat Daya Iran sejak tahun 3000 S.M. Pada tahun 1500 S.M. suku Arya mulai bermigrasi ke Iran dari Sungai Volga utara Laut Kaspia dan dari Asia Tengah. Akhirnya dua suku utama dari bangsa Arya, suku Persia dan suku Medes, bermukim di Iran. Satu kelompok bermukim di daerah Barat Laut dan mendirikan kerajaan Media. Kelompok yang lain hidup di Iran Selatan, daerah yang kemudian oleh orang Yunani disebut sebagai Persis-vang menja¬di asal kata nama Persia. Bagaimana-pun juga, baik suku bangsa Medes maupun suku bangsa Persia menyebut tanah air mereka yang baru sebagai Iran, yang berarti “tanah bangsa Arya”.
Pada tahun 600 S.M. suku Medes telah menjadi penguasa Persia. Sekitar tahun 550 S.M. bangsa Persia yang dipimpin oleh Cyrus menggulingkan kerajaan Medes dan membentuk dinasti mereka sendiri (Kerajaan Archaemenia). Pada tahun 539 S.M., masih dalam periode pemerintahan Cyrus; Babylonia, Palestina, Syria dan seluruh wilayah Asia Kecil hingga ke Mesir telah menjadi bagian dari Kerajaan Archaemenia. Dan dalam masa pemerintahan Darius, jalur pelayaran mulai diper¬kenalkan, bersamaan dengan dimulainya sistem mata uang logam emas dan perak. Jalan kerajaan dari Sardis hingga Susa dan sistem pos difungsikan dengan tingkat efisiensi yang menakjubkan. Pada masa jayanya di tahun 500 S.M. daerah kekuasaan kerajaan ini membentang ke arah barat hingga ke wilayah yang sekarang disebut Libya, ke arah timur hingga yang sekarang disebut seba¬gai Pakistan, dari Teluk Oman di Selatan hingga Laut Aral di Utara. Lembah Indus juga merupakan bagian dari Kerajaan Archaemenia. Seni budaya Archaemenia memberikan pengaruh pada India, dan bahkan kemu¬dian dinasti Maurya di India dan pemimpinnya, Asoka, sangat terimbas dengan pengaruh Archaemenia. Begi¬tupun juga yang terjadi di Asia Kecil dan di Armenia, pengaruh Iran sangat kuat bertahan jauh setelah keruntuhan dinasti Archaemenia. Ada beberapa kata yang diserap oleh bahasa Armenia dari kata-kata bahasa Iran sehinggga selama beberapa lama para peneliti mengira bahwa bahasa Armenia merupakan bagian dari bahasa Iran dan bukannya merupakan unit yang ter¬pisah dari keluarga bahasa Indo-Eropa.
Pada sekitar 513 S.M., bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara dan hampir mengu¬asai wilayah ini. Darius sekali lagi mengirim bala Tentara Agung-nya ke Yunani di tahun 490 S.M., tetapi dikalahkan oleh pasukan bangsa Athena di Marathon. Sekali lagi putra Darius, Xerxes, menginvasi Yunani di tahun 480 S.M. Bangsa Persia mengalahkan tentara Spar¬ta setelah melalui pertempuran sengit di Thermopylae. Akan tetapi mereka mengalami kekalahan yang menye¬sakkan di Salamis dan didepak dari Eropa tahun 479 S.M. Setelah mengalami kekalahan di Yunani, Im¬perium Archaemenia kian melemah dan mengalami kemerosotan. Pada tahun 331 S.M. Alexander dari Ma¬cedonia menaklukkan kerajaan tersebut, setelah menga¬Iahkan tentara Persia yang besar dalam pertempuran di Arbela. Kemenangan ini mengakhiri Imperium Archaemenia dan Persia pun menjadi bagian dari ke¬kaisaran Alexander.
Penaklukan keseluruhan kerajaan Archaemenia oleh Alexander dianggap sebagai sebuah tragedi besar oleh bangsa Iran, sebuah fakta vang direfléksikan dalam kisah epik nasional Syah Nameh, yang ditulis oleh Fir¬dausi, seorang penyair, kira-kira pada awal abad 11 M. Lebih dari sepuluh tahun setelah kematian Alexander di tahun 323 S.M., salah seorang panglima bernama Seleucus mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Persia dari tahun 155 S.M. Setelah itu, bangsa Parthian memenangkan kendali atas Persia. Pemerintahan mereka bertahan hingga tahun 224 M. Bangsa Parthian membangun kerajaan yang besar melewati Asia Kecil Timur dan Asia Barat Daya. Selama 200 tahun terakhir pemerintahan mereka, bangsa Parthian harus berperang dengan bangsa Romawi di Barat dan bangsa. Kushan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Afganistan.
Sekitar tahun 224 M seorang Persia bernama Ardhasir menggulingkan kekuasaan bangsa Parthian dan mengambil alih kerajaan. Setelah lebih dari 550 ta¬hun di bawah kekuasaan bangsa asing, orang Persia kembali memerintah Persia, dan dinasti Sassania ini bertahan selama lebih dari 400 tahun. Dalam kurun wak¬tu itu, seni budaya Iran tumbuh subur, jalan-jalan, irigasi dan bangunan berkembang pesat, akan tapi perang antara bangsa Persia dan bangsa Romawi terus berlanjut mewarnai sebagian besar masa pemerintahan rezim Sassania. Peradaban Sassania mencapai kejayaannya di pertengahan abad VI M. Persia memenangkan bebe¬rapa peperangan dengan Romawi, dan menguasai kem¬bali wilayah yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Archaemenia. Tentara Persia sebenarnya telah mengua¬sai hingga perbatasan Konstantinopel, yang pada saat itu merupakan ibukota dari kerajaan Byzantium (Kerajaan Romawi Timur). Akan tetapi mereka di sana dikalahkan dan terpaksa mengundurkan diri dari semua wilayah yang telah mereka taklukkan.
Kerajaan Sassania jauh lebih tersentralisir dari para pendahulunya. Zoroastrianisme menjadi agama negara. Akan tetapi selama masa rezim Syahpur 1, seorang pemimpin agama dan pergerakan baru muncul ketika Mavi menyatakan dirinya sebagai rasul Tuhan Yesus yang terakhir dan terbesar. Pada akhirnya dia dihukum mati. Agamanya kemudian disebut Mani¬cliaeisme. Di bawah dinasti Sassania, eksploitasi dan penindasan yang ekstrim terhadap rakyat mencapai puncaknya. Perbudakan telah melampaui batas dan memasuki masa krisis. Migrasi besar-besaran kaum tani miskin telah merambah kota-kota sebagai akibat tirani kebangsawanan feodal yang tak tertahankan. Namun, di kota-kota pun mereka masih diperlakukan sebagai budak. Penindasan yang terakumulasi itu tiba-tiba mele¬dak dalam bentuk gerakan revolusioner di bawah pim¬pinan Mazdak.
Mazdak adalah seorang revolusioner besar jaman itu dan gerakannya, seperti halnya gerakan Kristen di masa awal yang berkembang di bawah kondisi serupa, memiliki kandungan komu-nistik. Ajarannya menuntut distribusi kesejahteraan yang adil, melarang memiliki istri lebih dari satu, dan memperjuangkan eliminasi kebangsawanan dan feodalisme. Gagasan-¬gagasan revolusioner Mazdak mengakar kuat di kalangan budak dan kaum tani miskin. Gerakannya bertahan selama 30 tahun dari tahun 494 M hingga 524 M. Pada masa pemerintahan Raja Nosherwan, gerakan Mazdak secara brutal ditindas dan tiga puluh ribu pengikutnya dibinasakan, akan tetapi pada dasarnya Nosherwan telah dipaksa untuk melaksanakan reformasi sosial dan agraris. Gerakan revolusioner Maz¬dak adalah salah satu perjuangan kelas yang paling inspiratif dalam sejarah Iran. Tradisi ini telah mening¬galkan jejak mendalam pada perjalanan panjang gerakan revolusioner Iran.
Bersambung ke:
2. Penaklukan Islam Sampai Munculnya Dinasti Safavi
No comments:
Post a Comment