Saturday, May 23, 2009

GO TO HELL OTORITARIANISME! bag.2

2. Penaklukan Islam Sampai Munculnya Dinasti Safavi

Di pertengahan abad ke-7 M, terjadilah sebuah peristiwa yang merubah nasib Iran. Tentara Arab menaklukkan negara tersebut dan kebanyakan rakyat Iran kemudian menganut agama Islam. Alasan bagi keberhasilan pesat agama baru itu tidak sulit untuk dicari. Di samping kesemua pencapaian yang demikian menakjubkan, Kerajaan Sassania dicirikan dengan adanya penindasan yang ekstrim terhadap rakyat. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroastrianisme, dan sejak saat itu hingga hari ini, orang Persia menjadi Muslim. Namun, warna Islam mereka dari awalnya agak berbeda dengan yang dimiliki oleh Muslim yang lain. Mereka mengisinya dengan warna-warna Iran yang spesifik ketika bangsa Persia itu menganut agama Is¬lam dalam bentuk Syi’ah yang heterodoks dan meng¬gunakannya sebagai senjata yang digunakan untuk melawan para penguasa Arab.

Selama beberapa abad, bahasa Arab menggantikan bahasa Pahalavi (bahasa Persia tengah), bahasa vang dipakai oleh bangsa Persia selama masa pemerintahan Sassania (periode Kerajaan Persia Kedua). Pemberlakuan bahasa yang bagi masyarakat Persia sangat asing itu telah menghambat perkembangan kreatif kesusastraan dan puisi Persia. Dan jelas di sini bahwa semangat nasional kembali mengemuka dengan sendirinya. Bidang kesu¬sastraan pertama pendobrak ketergantungan pada baha¬sa Arab setelah dua abad lamanya mendominasi kebudayaan adalah puisi. Tidak diragukan lagi, ini me¬rupakan hasil dari kekuatan tradisi lisan dalam penyam¬paian puisi. Betapapun juga, pengaruh bahasa Arab masih tetap kuat, dan ketika bahasa Persia muncul kem¬bali sebagai bahasa tulis di abad ke-9, karya-karya sastra ditulis dalam naskah berbahasa Arab. Selama kurang lebih lima abad, mayoritas karya yang ditulis oleh orang Persia dalam bidang teologi, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika dan bahkan sejarah ditulis da¬lam bahasa Arab. Namun demikian, semenjak per¬tengahan abad ke-8 Iran telah menjadi pusat kesenian, kesusastraan dan sains dunia.

Selama abad ke-9, kontrol Arab melemah dan Iran pecah menjadi sejumlah kecil kerajaan di bawah bermacam penguasa Iran. Akan tetapi segera musuh yang baru muncul menjelang. Pada pertengahan abad ke-11, Bangsa Turki Seljuk dari Turkistan telah mena¬klukkan sebagian besar wilayah Iran. Bangsa Seljuk dan suku-suku Turki lainnya memerintah hingga tahun 1220. Tahun dimana bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan mengepung seluruh wilayah, dan melu¬luhlantakkan segalanya. Mereka menghancurkan seluruh kota, menjagal beribu-ribu orang dan meng¬akhiri kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat dan mengerikan. Epik bangsa Iran dibanjiri dengan darah dari bencana nasional ini; setiap halaman dipenuhi dengan catatan tentang kota-kota yang menjadi puing dan penghancuran yang mengerikan oleh kejahatan bangsa barbar nomaden ini. Setelah tahun 1335 kerajaan Mongol di Iran pada gilirannya terpecah belah dan sekali lagi sebuah kerajaan digan¬tikan dengan serangkaian dinasti-dinasti kecil. Antara tahun 1381 dan 1404 Iran diporak-porandakan oleh invasi berulangkali oleh penakluk lainnya dari daerah Stepa Timur, yang di Barat dikenal sebagai Timurlane (”Titnur tlte Laine -Timur si Pineang “).

Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suatu suku dari Turki memperoleh kendali atas bebera¬pa wilayah Iran. Pada tahun 1501, pemimpin suku tersebut, Ismail, ditahbiskan sebagai raja dan mendirikan Dinasti Safavi, dimana representasi terbe¬sarnya adalah Syah Abbas yang memerintah dari tahun 1587 hingga 1629. Ditangkalnya invasi yang dilakukan oleh kerajaan Ottoman Turki dan suku Uzbek dari Turkistan. Tercatat Syah Abbas dan para penerusnya sangat berpengaruh dalam mendukung perkembangan arsitektur dan seni. Isfahan, yang menjadi Ibukota Safavi di tahun 1598, dikenal sebagai salah satu kota berperadaban yang paling maju. Pada masa itu orang Persia suka menyebut Isfahan sebagai Nif-e-Jaltan (”separuh dunia”). Pemberlakuan ajaran Syíah sebagai agama resmi dari negara Safavi dimaksudkan untuk menjadi kekuatan pemersatu dalam tubuh kerajaan Safavi yang memungkinkan Safavi menghubungkan rasa nasionalisme laten bangsa Iran yang luas tersebar. Di lain pihak, hal itu membawa Safavi ke kancah konflik terbuka dengan kerajaan Ottoman yang Sunni dan menggiringnya menuju dua abad pasang-surut peperangan antara ke¬dua negara adidaya ini.

Dinasti Safavi memerintah Iran hingga tahun 1722, ketika tentara Afghan menginvasi negara itu dan menguasai Isfahan. Pada tahun 1730, Nadir Syah, seorang suku Turki, mendepak bangsa Afghan keluar dari Iran dan menjadi raja. Dia membuktikan dirinya sebagai penakluk yang mengagumkan. Pada tahun 1739 Nadir Syah menguasai kota Delhi di India. Dia menjarah India dan kembali dengan membawa berlimpah-ruah harta rampasan. Tapi Nadir Syah terhunuh pada tahun 1747, yang setelahnya diikuti oleh periode chaos dimana silih berganti pemimpin-pemimpin Iran saling berebut kekuasaan.

3. Syi’ah Sebagai Madzab Resmi

Syeikh Ismail, pendiri dinasti Safavi, yang telah memproklamasikan paham keagamaan Syi’ah sebagai madzab resmi negara. Dia mewajibkan setiap khatib Jum’at untuk memuja Ali dan imam-imam Syi’ah lainnya, sembari mengutuk Abu Bakar, Umar, Utsman dan penguasa-penguasa Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Kekuasaan militer digunakan untuk menundukkan orang-orang Sunni yang tidak mau mencaci-maki ketiga Khalifah tersebut; dan satu per satu kubu-kubu Sunni ditaklukan, termasuk Hamadan, Ishafan, dan Syiraz. Kebangkitan Dinasti Safavi mengakibatkan berakhirnya riwayat Persia sebagai salah satu sumber pemikiran dan otodoksi Sunni, sebaliknya Persia sejak masa itu hingga sekarang menjadi pusat keagamaan dan politik Syi’ah.
Sejalan dengan program Dinasti Safavi tentang pembentukan negara maka menjadi keharusan bagi Safaviyah untuk menciptakan sebuah upaya pemantapan keagamaan yang diharapkan dapat menyokong otoritasnya dan menciptakan langkah-langkah administratif untuk mendukung rezim tersebut. Selanjutnya pihak Safaviyah mengorganissir ulama menjadi sebuah birokrasi yang dikuasai negara. Jabatan Diwan Bagi dibentuk sebagai sebuah pengadilan banding tingkat tinggi, dan pihak yang menguasai jabatan ini semakin berpengaruh hingga taraf Dewan Jenderal Militer, sedemikian rupa sehingga kewenangan hukum berada di bawah pengendalian pemerintah secara langsung. Syah juga sangat berpengaruh dalam hal kegiatan keagamaan, dengan cara menyumbangkan tanah dan sejumlah pemberian lainnya untuk mendanai kegiatan keagamaan. Tanah-tanah yang disumbangkan tersebut dinamakan soyurghal yang juga diberikan kepada beberapa keluarga tokoh agama, dan yang memungkinkan untuk diwariskan dari generasi ke generasi lainnya yang bebas dari pungutan pajak.

Untuk menyokong agama resmi, rezim Safaviyah melancarkan sebuah program yang tegas untuk mengeliminir seluruh bentuk-bentuk Islam yang lainnya di dalam sebuah masyarakat keagamaan yang sangat pluralistik – yakni di tengah masyarakat Sunni, Sufi dan Syi’i. Syi’ah Dua belas (Isna Asy’âriyah) dipaksakan melalui sebuah gerakan permusuhan yang hanya sedikit atau bahkan tidak sejalan dengan daerah Muslim lainnya. Sasaran pertama bagi kebijakan Safavi adalah upaya untuk menekan gerakan Mesianis dan gerakan Syi’ah ekstrimis. Dominasi Syi’isme juga diperkuat dengan penindasan secara keras terhadap Sunni’isme. Tidak hanya tiga khalîfah pasca Nabi (Abu bakar, Umar dan Usman) yang dicaci maki, tetapi sejumlah makam ulama Sunni juga dirusaknya. Beberapa tempat keramat dihancurkan, ibadah haji ke Makkah diabaikan dan digantikan dengan sejumlah kegiatan ritual ke makam para imam Syi’ah.

Setelah Syi’ah menjadi paham resmi negara, mayoritas masyarakat Persia lantas menjadi mengikutnya. Hal ini sesuai dengan harapan rezim Safavi yang ingin menjadikan Syi’ah sebagai kekuatan politik dalam melawan negara tetangga yang sekaligus sebagai musuh bebuyutannya, yakni kerajaan Ottoman, Turki, yang kebetulan adalah berfaham Sunni. Sejak saat itu, identitas nasional komunitas Persia banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Syi’ah, khususnya Syi’ah Isna Asy’âriyah atau Syi’ah Imâmiyah. Ajaran Syi’ah ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk menjaga identitas dan kemerdekaan nasional serta menggerakkan dukungan rakyat. Syi’ah yang tadinya adalah aliran pinggiran dalam sejarah Islam berubah menjadi paham mainstreem dalam sebuah wilayah politik yang bernama kerajaan Dinasti Safavi.

Syi’ah sebagai salah satu faham dalam Islam telah muncul dalam sejarah jauh sebelum Dinasti Safavi berdiri. Ia diidentikkan sebagai kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan Ahlu al-Baît. Kristalisasi kelompok ini muncul pertama sejak wafatnya Nabi Muhammad dan terjadi polemik tentang siapa yang paling berhak menggantikan beliau sebagai pemimpin politik dan keagamaan. Kelompok Syi’ah tentunya mengklaim bahwa Ali yang mestinya berhak menggantikan beliau, tetapi kenyataannya kekuasaan kekhalifahan berada di tangan Abu Bakar. Golongan ini semakin berkembang pada tahun-tahun terakhir kekhalifahan Usman, karena ketidakmampuan khalîfah ketiga ini mengelola negara. Sampai akhirnya kelompok betul-betul terkristalisasi sejak Ali bin Abi Tâlib menggantikan Usman sebagai khalîfah keempat, apalagi sejak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah terhadap Ali sampai akhirnya Mu’awiyah dapat mengalahkan Ali.

Sayyed Hossein Nasr menyatakan bahwa masalah kepemimpinan (penggantian kekuasaan dari Rasulullah) tidak satu-satunya faktor munculnya kelompok Syi’ah. Persoalan pengganti-an kekuasaan biasa dikatakan sebagai untuk yang memadatkan orang-orang Syi’ah ke dalam suatu golongan tersendiri, sedangkan tekanan politik pada masa-masa kemudian, terutama syahidnya Imam Husein, hanya meningkatkan kecenderungan orang-orang Syi’ah untuk melihat diri mereka sendiri sebagai suatu masyarakat terpisah dalam dunia Islam. Namun sebab utama munculnya Islam Syi’ah, menurut Hossen Nasr, terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu sendiri, dan karena itu mesti diwujudkan.

Perbedaan paling fundamental antara Sunni dan Syi’ah adalah pada persoalan kepemimpinan. Syi’ah cenderung bersikukuh bahwa kepemimpinan adalah hak Ali dan keturunannya yang tentu saja hal ini tidak diakui dalam tradisi Sunni. Lima prinsip dasar (ushûluddin) yang diakui oleh Syi’ah diantaranya adalah tauhîd, yakni kepercayaan kepada keesaan Tuhan; Nubuwwah, yakni kenabian; Ma’âd, yaitu kehidupan akherat; imâmah atau keimaman, yakni percaya adanya imam-imam sebagai pengganti nabi; Ādil atau keadilan Tuhan. Dalam tiga prinsip dasar – Tauhîd, Nubuwwah dan Ma’âd – Sunni dan Syi’ah bersepakat, tetapi dalam dua prinsip yang terakhir mereka berbeda.
Syi’ah terpecah dalam berpuluh-puluh kelompok. Perpecahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah karena perbedaan prinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok yang ekstrem (al-ghulât) dan kelompok moderat. Faktor lainnya adalah karena perbedaan pendirian tentang siapa yang harus menjadi imam sepeninggal Husein bin Ali, Imam ketiga, sesudah Ali Zainal Abidin, Imam keempat, dan sesudah Ja’far al-Shadiq, Imam keenam. Dari kelompok-kelompok tersebut yang paling terkenal adalah Zaidiyah, Ismailiyah, dan Isna‘As’âriyah.

Sepanjang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersikap apolitis) ketimbang aktivisme dalam politik. Hal ini berlangsung sejak masa pasca Ali bin Abi Thalib, yang juga Imam Pertama dalam Syi’ah. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang bisa dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan oleh Mu’awiyah, kemudian putra Ali, Hasan bin Ali, memberikan konsesi kepada Mu’awiyah (pendiri Dinasti Umayyah). Husein bin Ali terbunuh bersama seluruh anggota keluarga oleh Yazid, putra Mu’awiyah, di padang Karbala. Sejak itu, yakni mulai pada masa Ali Zain al-‘Abidin (658-712 M.), putra Husein yang selamat dari pembantaian Karbala, quietisme dimulai.

Sikap quietisme Syi’ah ini diperkuat oleh salah satu ajaran Syi’ah yang bernama taqiyeh, yakni menyamarkan keyakinan sehingga kelompok Syi’ah ini dapat survive di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang non-Syi’ah atau mainstreem politik yang tidak berafiliasi kepada kelompok Syi’ah. Tetapi taqiyeh hanya dilakukan dalam situasi di mana penganut Syi’ah merupakan kelompok minoritas yang menghadapi “tekanan-tekanan” dari mayoritas Sunni. Dengan strategi ini Syi’ah berharap dapat mempertahankan eksistensi kelompok dan madzab pemikirannya, sembari tetap hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), khususnya dengan mayoritas Sunni yang tidak menyukai kehadirannya dan bahkan yang ingin menyingkirkannya.

Quietisme Syi’ah juga didukung oleh munculnya satu aliran pemikiran hukum dalam sejarah Syi’ah yang disebut sebagai aliran Akhbâriyyah (berasal dari kata akhbâr yang berarti tradisi atau hadis). Aliran ini percaya bahwa ulama tidak mempunyai hak untuk melakukan ijtihad atau upaya menyimpulkan hukum untuk menjawab persoalan yang muncul pada zamannya. Tugas ulama tidak lebih dari sekedar menyampaikan tradisi dari nabi dan para imam, yang menurut kelompok ini sesungguhnya sudah cukup bisa menjawab kebutuhan zaman. Lawan dari aliran Akhbariyah adalah Usūliyyah yang berpendapat bahwa kaum ulama sesungguh-nya mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam menjawab persoalan-persoalan di zamannya. Keberadaan aliran Usūliyyah ini pada sejarah berikutnya menjadi aliran dominan dalam Syi’ah, dan peran penting kelompok ini adalah membawa kelompok Syi’ah dalam pusaran aktivisme politik yang selama ini dijauhi.

4. Dinasti Qojar

Iran era modern bermula dengan tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah melewati periode anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas negara Iran. Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925 dengan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi keagamanannya yang sangat tinggi.

Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengem-bangkan secara efektif sistem pemerintahan negara ini. Beberapa propinsi yang mereka kuasai terpecah belah menjadi sejumlah faksi kesukuan, etnik, dan faksi lokal yang dikepalai oleh tokoh-tokoh kesukuan-lokal mereka. Rezim baru tersebut sama sekali tidak pernah mencapai tingkat legitimasi yang sebelumnya pernah dicapai pemerintahan Safaviyah dan tidak pernah menegakkan kekuasannya secara penuh.
Ketidakpuasan yang semakin meningkat ter¬hadap kemandulan serta korupsi dalam kerajaan, seiring dengan kekecewaan terhadap dominasi ekonomi bangsa asing dan tekanan politik imperialis, menemukan ekspresinya dalam bentuk gerakan massa. Revolusi Bâb yang terjadi pada tahun 1844 dapat dipadamkan oleh Penguasa Qojar, akan tetapi gerakan tersebut mewariskan sebuah tradisi revolusi yang mengambil bentuk dari berbagai sekte religius seperti gerakan Bahai. Gerakan massa meletus kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik luar negeri Qajar yang meng¬hadiahkan konsesi kepada Perusahaan Tembakau Inggris. Berawal dari sebuah kekecewaan lantas berubah menjadi gerakan yang menyebar luas dan kerusuhan yang merebak di berbagai tempat yang berbeda. Hasil gerakan radikal ini yang pa¬ling utama adalah tuntutan akan reformasi kons¬titusional, yang diimplementasikan pada tahun 1906.
Gerakan revolusi ini menuntut reformasi yang demokratis, dipimpin oleh sebuah aliansi tak tetap dari kelas peda¬gang dan institusi religius yang mendapatkan dukungan mereka dari para bazâri (pekerja dan pedagang), para penjaga toko dan unsur kelas yang lebih rendah lainnya di kota itu. Monarki dipaksa untuk merumuskan sebuah konstitusi dimana hak-hak borjuis-demokrat, seperti kebebasan berbicara, kemerdekaan berkumpul dan berserikat dianugerahkan dan pedagang serta para saudagar diberi hak-hak perwakilan dalam majelis (parlemen) secara terbatas. Gerakan ini juga menuntut pembaharuan konstitusional guna membatasi kekuasaan mutlak kerajaan. Namun, meskipun kekuatan ini membangkitkan gerakan nasionalis awal dan perlawanan terhadap tekanan pihak asing, Iran, sebagaimana kebanyakan negara Muslim lainnya, tetap mengalami pengaruh imperialisme Eropa:

That state have come to the semi-colone place from first until now people Belgia run on duty tollbooth … all heroic of Swedia master the state police … all Russia army fulfill the baracs … people Hungaria manage the exchequer … Dutch nation have and operate the single telegraph channel .. and big industrial operations ( textile).
(Negara itu telah menjadi semikoloni tempat dari dulu hingga sekarang orang-orang Belgia menjalankan dinas pabean … para perwira Swedia menguasai polisi negara … para tentara Rusia memenuhi (barak-barak) … orang-orang Hungaria mengurusi perbendaharaan … bangsa Belanda memiliki dan mengoperasikan satu-satunya saluran telegraf .. dan operasi-operasi industri besar (tekstil).)

Berbagai aksi protes publik tersebut mengantarkan pada penyelenggaraan sidang dewan konstituante nasional pada 1906. Keanggotaan konstituante tersebut, 26 persen dari kalangan tokoh artisan (pengrajin), 15 persen dari kalangan pedagang, dan 20 persen dari kalangan ulama. Dewan ini mencerminkan sebuah koalisi antara ulama, pedagang, dan kelompok liberal didikan Barat, menciptakan konstitusi yang secara resmi tetap berlaku sampai tahun 1979.

Pemberlakuan konstitusi tersebut justru merupakan awal dari sebuah pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis yang didukung oleh ulama, pedagang, artisan, dan tokoh-tokoh suku Bakhtiyati ditentang oleh Syah, ulama konservatif, dan oleh tuan-tuan tanah yang kaya raya dan juga kaki tangan mereka. Berkobarlah serangkaian konflik sengit yang sering menjurus kepada pertempuran fisik. Pada 1907 dan 1908, Syah menggunakan Brigade Cossack untuk membubarkan parlemen dan kalangan konstitusionalis menduduki kekuasaan antara 1909-1911.

Negara Iran modern lahir dari sebuah periode anarkis yang berlangsung dari tahun 1911 sampai 1925. Selama periode ini intervensi asing mencapai puncaknya. Dalam Perang Dunia I tentara Rusia dipusatkan di beberapa propinsi bagian utara, sedangkan pasukan Inggris menduduki wilayah bagian selatan Iran. Dengan hancurnya rezim Tsaris pada tahun 1917, seluruh wilayah Iran jatuh ke tangan Inggris, dan dengan perjanjian Anglo-Parsian tahun 1919, menjadikan Iran sebagai pemerintahan protektorat Inggris. Pada saat bersamaan Rusia mendukung gerakan kelompok separatis di Jilan dan Azerbaijan dan Partai Komunis di Tabriz dan Teheran. Sekalipun demikian, Inggris dan Rusia menyepakati perjanjian kerjasa-ma dengan beberapa persyaratan yang menguntungkan pihak Iran. Rusia sepakat untuk menarik diri dari Jilan dan menutup hutang dan konsesi Iran, dan menyerahkan kembali hak-hak khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada pihak asing di Iran. Rusia bersedia menyediakan industri penangkapan ikan di laut Caspia dan berhak untuk melibatkan diri manakala Iran terancam oleh kekuatan asing lainnya. Dengan dukungan perjanjian baru ini, Iran membatalkan perjanjian 1919 dengan Inggris yang berat sebelah.

Pada 1925 Dinasti Qajar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan Dinasti Qajar.

Faktor eksternal yang muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang menjadikan Iran sebagai arena pertempuran, walaupun secara politik posisi Iran dalam perang itu adalah netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan cadangan minyak di Baku dan Laut Kaspia. Tentara Ru¬sia terlibat dalam pertempuran sengit dengan tentara Turki di Iran barat laut. Imperialis Inggris, di pihak lain, mempertahankan kepentingan mereka di ladang minyak Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian itu menyulut Sayid Ziauddin Taba Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, memanfaatkan situasi untuk melancarkan pemberontakan atas dinasti Qajar.

Bersambung ke:
B. Dinasti Pahlevi

Artikel Terkait

1 comment:

Anonymous said...

Tulisan anda lumayan lengkap dan netral

 
;