Saturday, May 23, 2009

GO TO HELL OTORITARIANISME! bag.3

B. Dinasti Pahlevi

1. Periode Reza Khan (1925-1941)
Reza Khan pada masa Dinasti Qajar adalah seorang pejabat dalam Brigade Cossack, yang berkuasa sebagai Panglima Militer dan sebagai Menteri Pertahanan. Karena posisinya itu, ia mampu mengkonsolidasikan pengaruhnya di kalangan pasukan militer dan kepolisian. Pada kesempatan yang sama, unsur kekuatan kesukuan dan unsur propinsional melemah, sehingga memudahkan Reza Khan untuk menguasai seluruh wilayah negeri. Pada 1925, ia menjadikan dirinya sebagai Syah Iran, dan pendiri kerajaan konstitusional (monarki) sekaligus pendiri dinasti Pahlevi, yang berlangsung hingga tahun 1979.

Di bawah rezim Pahlevi, terbentuklah untuk pertama kalinya dalam sejarah Iran, sebuah pemerintahan memusat yang kuat. Negara tersebut dibangun sejalan dengan ideologi nasionalis. Di bawah pemerintahan yang otoriter, negara memberlakukan program modernis ekonomi dan westernisasi kultural secara gigih. Negara yang memusat ini berhasil menguasai masyarakat kesukuan, bahkan selama periode tertentu, berhasil menjinakkan kekuatan ulama.

Langkah pertama yang ditempuh Syah Reza adalah membangun kekuatan militer modern. Sementara Qajar pada masa sebelumnya telah mengusahakan reformasi militer yang sejalan dengan pola kemiliteran Barat, maka rezim Pahlevi berusaha mempertahankan pola militer tradisional yang terdiri dari sejumlah resimen yang kompetitif daripada membentuk kesatuan militer. Syah Reza melakukan pelatihan pejabat-pejabat tentara di Prancis dan memberlakukan wajib militer. Sekitar 33 % dari anggaran negara digunakan untuk pendanaan militer dan juga sejumlah anggaran lainnya yang didapatkan dari sektor penghasilan minyak. Ia melancarkan westernisasi pasukan militer yang dengannya secara politik ia mampu mendominasi negara, namun hal itu justru tidak dapat menghindarkan Iran dari pendudukan Rusia dan Inggris tahun 1941.

Program modernisasi besar-besaran di luar militer juga dilaksanakan oleh rezim Syah Reza, diantaranya pada bidang pendidikan, industri dan pertanian. Melihat struktur sosial di Iran yang pada masa itu relatif lemah, seperti rendahnya daya beli masyarakat, akhirnya negaralah yang menjadi inisiator paling menentukan dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan modernisasi sosial ekonomi. Intervensi negara yang sangat kuat dalam seluruh dimensi atau bidang kehidupan masyarakat Iran inilah yang menjadikan semakin kukuhnya otokrasi Reza Khan.

Dengan dukungan pasukan militer dan pemerintahannya yang kuat, rezim ini mengatasi oposisi elit agama, pedagang dan elit kekuasaan. Rezim ini mencabut perlindungan hukum partai komunis dan persatuan dagang, merendahkan posisi parlemen sebagai formalitas belaka, dan mensensor pers. Untuk tujuan politik rezim ini mengaharapkan dukungan kalangan tuan tanah. Perundang-undangan tahun 1928 dan tahun 1929 mengakui penguasaan tanah secara de facto sebagai bukti kepemilikan, dan mempersyaratkan registrasi yang ditujukan terhadap tuan-tuan tanah yang kaya raya dan tidak terhadap petani penggarap yang miskin. Rezim ini juga berusaha menekan unsur kekuatan kesukuan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah di mana negara Iran berkuasa penuh atas wilayah negerinya secara utuh dengan melumpuhkan unsur kekuatan komunitas kesukuan. Suku-suku dipaksa menetap (tidak nomaden), dan kekuasaan politik para kepala suku (khan) diambil alih oleh negara.

Untuk mengokohkan kontrol negara terhadap modernisasi ekonomi, negara melakukan sekularisasi sistem administrasi hukum dan pendidikan. Pada 1928, Syah Reza memberlakukan beberapa kitab hukum yang menggeser kedudukan hukum Syari’ah. Pada 1932 parlemen mengundangkan sebuah undang-undang baru yang memindahkan registrasi dokumen-dokumen resmi kepada pengadilan sekuler dan merupakan sebuah pukulan bagi fungsi-fungsi terpenting dalam Pengadilan Agama. Undang-Undang tahun 1936, mempersyaratkan seluruh hakim telah menembuh degree (gelar sarjana) dari Fakuktas Hukum Teheran atau dari universitas luar negeri, yang tidak memungkinkan pihak ulama menduduki jabatan hakim dalam pengadilan.

Melalui pembentukan sistem pendidikan sekuler, pengawasan pemerintah terhadap sekolah-sekolah agama, pengurangan dana subsidi, dan melalui beberapa langkah lainnya, rezim Pahlevi berusaha menggiring ulama di bawah kontrol negara. Pada 1934, The Teacher Trainning Act (Undang-Undang Pendidikan Guru) melahirkan sejumlah perguruan tinggi baru, dan Menteri Pendidikan memberlakukan kurikulumnya yang baru untuk sekolah-sekolah teologi. Bahkan, sebagai alternatif bagi pendidikan agama, didirikanlah sekolah-sekolah teknik oleh Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Industri Pertanian, Pertahanan dan oleh Menteri Keuangan.

Reza Syah mengumbar janji-janji manis bagi Islam pada tahun-tahun awal kekuasannya dan mendapat dukungan dari para pemimpin Syi’ah. Namun, banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan keyakinan dan identitas Islam serta melangkahi wewenang dan kedudukan para ulama semakin mengasingkan banyak ulama dan kelompok-kelompok tradisional. Agama Majusi ditetapkan secara bersama-sama dengan Islam. Pemerintah memilih nama pra-Islam (Pahlevi) dan lambang-lambang pra-Islam (singa dan matahari). Aturan busana membatasi dikenakannya pakaian keagamaan, dan mewajibkan pakaian Barat untuk kaum pria (1928), dan melarang cadar (1935). Pemerintah mengontrol sumbangan keagamaan (1934). Seperti di Mesir dan negara-negara lain yang beranjak modern, para ulama kehilangan sumber-sumber utama kekuasaan dan kekayaan karena posisi mereka digantikan oleh pengadilan, pengacara, hakim, notaris, dan guru sekuler modern. Langkah pembaharuan yang dilakukan Reza Syah banyak menguntungkan kelas atas dan kelas menengah baru serta memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi dan budaya antara kelompok-kelompok yang berkiblat ke Barat tersebut dan mayoritas bangsa Iran, terutama elit tradisional

Program modernisasi yang dicanangkan Reza Syah sejak naiknya dia ke puncak kekuasaan pada akhirnya tidak dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari: Pertama, kebanyakan kegiatan ekonomi di sektor industri dimonopoli oleh pemerintah yang tidak memelihara kualitas dan akhirnya tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri dan kehilangan pasaran. Kedua, over-sentralisasi dan lambatnya birokrasi telah melahirkan situasi yang tidak sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, program-program pembaharuan pertanian dijalankan setengah-setengah dan kemudian malahan menimbulkan “landlordism”, kesenjangan antara peran para tuan tanah dan petani gurem makin melebar.

Dengan pecahnya Perang Dunia II, program-program pembangunan yang dijalankan Reza Syah berhenti secara total. Simpati Syah terhadap Nazi ketika pecah perang bukan suatu rahasia lagi dan kenyataan ini menjadi alasan bagi kekuatan sekutu untuk melakukan intervensi terhadap Iran. Negara-negara sekutu yang menjadi lawan Nazi-Jerman marah besar terhadap Iran, sampai akhirnya sekutu (Inggris) menduduki Iran dan mencopot jabatan Reza sebagai penguasa Iran untuk digantikan kepada putranya, Muhammad Reza Syah.

Pemerintahan Iran di bawah Reza Syah, telah memiliki hubungan baik dengan Jerman pada tahun 1928, dengan cara lebih memanfaatkan jasa-jasa ekonomi dan teknik dari orang Jerman. Dan kecenderungan ini pun meningkat saat Adoff Hitler berkuasa di Jerman, sehingga pada tahun 1939, empat puluh satu persen dari hasil perdagangan luar negeri Iran adalah dengan Jerman. Orang Jerman yang tinggal di Iran seperti ahli teknik, pedagang dan lain sebagainya, meningkat menjadi 2000 orang. Propaganda Hilter-Nazi ini sangat berhasil dengan menekankan latar bela-kang bangsa Aria pada kedua bangsa tersebut, juga perjuangan mereka terhadap kebebasan dan persamaan hak di bawah pimpinan penguasa yang “mencerahkan”. Padahal Iran, ketika pecah Perang Dunia II tahun 1939, menyatakan dirinya sebagai negara yang netral.

Penyerbuan Jerman atas Rusia pada bulan Juni tahun 1941, telah memaksa negara-negara Barat untuk mengirimkan bantuannya ke Rusia. Ada empat jalan alternatif yang mungkin dapat dilalui oleh Jerman, yaitu Murmansk, Vladivostok, Selat Turki dan Dataran Tinggi Iran. Murmansk dan Vladivostok tidak dapat menangani suplai pasukan dan logistik dalam jumlah yang besar, dikarenakan medannya yang cukup sulit. Sedangkan Turki menutup selat, dan untuk membukannya harus dengan cara memeranginya, suatu cara yang ditolak sekutu, mengingat Turki adalah sekutu Barat yang tidak ikut berperang. Jadi, hanya Iran satu-satunya jalan untuk transit yang praktis ke Rusia. Mengapa harus Iran? Iran dipilih karena telah memiliki organisasi yang cukup baik dan suplai pasukan dan logistik yang besar dapat dikirimkan. Tetapi ahli teknik Jerman di Iran juga dapat melakukan sabotase pengaturan transportasi sekutu, bila Iran harus membuka wilayahnya. Akhirnya, Rusia dan Inggris pada bulan Juni dan Agustus tahun 1941, meminta Iran untuk mengusir orang-orang Jerman. Namun, hal ini ditolak oleh Iran, yang berakibat kemudian dilakukannya penyerangan pasukan Inggris dan Rusia atas Iran pada tanggal 25 Agustus 1941, dan menduduki-nya.

Tekanan-tekanan sekutu pada akhirnya memaksa Reza Syah turun tahta pada bulan September 1941 dan kemudian dilanjutkan dengan tindakan pengusiran dari negara Iran oleh Inggris dan Rusia ke Afrika Selatan. Diktator Iran ini meninggal di sana pada 1944. Pencopotan Reza Syah dari kursi kekuasaannya telah menjadikan kondisi keamanan dalam negeri Iran kacau balau. Hal ini selain disebabkan oleh adanya intrik-intrik dari kelompok-kelompok lokal yang ingin mengambil peluang di saat kekuasaan kosong, juga disebabkan oleh adanya intervensi asing dari negara-negara sekutu yang saling berebut pengaruh di Iran.

Untuk memulihkan situasi dalam negeri, Inggris dan Rusia pada akhirnya menobatkan Mohammad Reza Syah, putra Reza Syah yang baru berusia 20 tahun dan belum berpengalaman dalam pengelolaan pemerintahan, menjadi Syah Iran atau penguasa kedua Dinasti Pahlevi. Peristiwa ini mendorong Iran secara tidak langsung di bawah kendali dari dua kekuasaan negara besar, yaitu Inggris dan Rusia.

2. Periode Mohammad Reza Syah (1941-1979)
Mohammad Reza Syah mendapat dukungan dari para ulama pada tahun-tahun awal pemerintahannya. Pada waktu itu banyak orang masih menganggap monarki sebagai pelindung terhadap sekularisme total dan ancaman komunisme. Meskipun oposisi yang efektif belum terbentuk hingga 1970-an, telah muncul beberapa kritikus terhadap ekses-ekses rezim tersebut, sebab lembaga-lembaga keagamaan pada 1960-an mulai mendapat serangan dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan rezim Pahlevi semakin meluaskan kontrol negara atas banyak bidang yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan para ulama. Pembaruan yang pernah dilakukan pemerintahan ayah Syah di bidang pendidikan, hukum dan sumbangan-sumbangan keagamaan pada 1930-an, kini disertai pula dengan pembaruan di bidang pertanahan pada 1960-an yang membatasi lebih lanjut kekayaan, penghasilan, dan kekuasaan para ulama. Lagi pula, sebagai sebuah kelompok yang kedudukan dan kekuasaannya telah lama diperkuat melalui hubungan erat dengan elit politik, pemisahan antara pendidikan dan masyarakat mengakibatkan perbedaan identitas dan pemikiran yang menyolok antara kelompok elit dan cendekiawan sekular modern dengan para ulama yang religius. Ketika kekuasaan semakin terpusat di tangan Syah dan kelompok elit sekular yang berkiblat ke Barat, hubungan ulama-negara pun semakin memburuk. Akibatnya, kaum agama bersekutu dengan kelompok pedagang tradisional (bazâri) dan melibatkan diri dalam isu-isu sosial, ekonomi dan politik rakyat vis-a-vis birokrasi negara.

Ketika Perang Dunia berakhir, Iran dalam posisi terhimpit oleh berbagai kekuatan negara besar. Ketika Rusia dan Inggris dapat disingkirkan oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dalam Perang Dunia II dan tengah sibuk memelihara daerah pengaruh atau mengurusi masalah sosial-ekonomi dalam negeri masing-masing, maka Amerika Serikat masuk dengan kekuatan besarnya di Iran. Masuknya Amerika di Iran itu dengan cara memasukkan penasehat-penasehatnya di berbagai sektor kegiatan pemerintahan, termasuk dalam bidang militer. Di samping itu, intervensi Amerika Serikat yang begitu besar juga berimbas pada bidang-bidang lainnya, seperti bidang ekonomi, industrialisasi, dan perdagangan. Nampaknya, Amerika Serikat ingin menjadikan Iran sebagai negara bonekanya di Timur Tengah layaknya seperti yang telah dilakukan terhadap Israel.

Salah satu fenomena bergesernya pengaruh Rusia di Iran adalah keberanian Mohammad Reza Syah melarang aktivitas Partai Tudeh (partai beraliran komunis) pada 1949 dengan alasan keterlibatan partai tersebut dalam usaha pembunuhan Reza Syah. Gebrakan politik Syah tersebut tentu saja sangat disetujui oleh Amerika Serikat yang ingin menghapus tuntas pengaruh Rusia dan juga Inggris di dalam negeri Iran. Dan mulai saat itu Iran berada dalam pengaruh Amerika Serikat secara mutlak.

Dengan dukungan dari Amerika Serikat, Syah ingin membangun Iran dengan melakukan pembaharuan di bidang ekonomi dan memperkenalkan rencana tujuh tahun yang bertujuan memperbaiki pendapatan ekonomi di sektor pertanian. Pada sisi lain Syah melakukan upaya-upaya represif untuk membungkam para oposan dalam negeri yang ingin menghalang-halangi program modernisasi-sekularisasi Iran.

Pada dekade 1940-an dan awal dekade 1950-an, Iran tengah berjuang merebut kekuasaan Anglo-Iranian Oil Company (AIOC). Masyarakat Iran makin merasakan bahwa APOC ini merupakan sarana paling efektif yang dilakukan Inggris untuk memeras kekayaan Iran. Apalagi dalam kenyataannya, keuntungan yang diperoleh dalam produksi minyak oleh AIOC, semakin lama menjadi semakin kecil yang dapat dinikmati oleh Iran. Sedangkan Inggris, sebagai pengelola perusahaan itu, menda-patkan keuntungan yang sangat besar. Lebih dari dua pertiga keuntungan perusaha-an diambil pihak Inggris, dan sisanya untuk Iran, itu pun masih dipotong untuk sarana-sarana pendukung lainnya, seperti pemeliharaan keamanan, lingkungan dan potongan-potongan lainnya yang berkait dengan proses produksi.

Pada tahun 1951, Muhammad Mosaddeq, pemimpin Front Nasional yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Iran, dengan didukung oleh sebuah koalisi yang terdiri dari tuan tanah, tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, pedagang, dan ulama, melalui parlemen mengajukan rancangan nasionalisasi perusahaan minyak. Undang-Undang ini akhirnya disahkan tangal 1 Mei 1951 yang mengakibatkan APOC dibu-barkan dan semua yang berhubungan dengan produksi minyak Iran harus dikerjakan oleh orang-orang Iran sendiri. Sebagai tindakan balasan, Inggris memberikan sanksi-sanksi kepada Iran dengan melakukan pembatasan perdagangan dengan Iran, pembekuan sterling Iran dan mencegah negara-negara lain (Barat) agar tidak mem-beli minyak Iran.

Pada akhir tahun 1952, pemerintahan Inggris menyusun rencana untuk menjatuhkan Perdana Menteri Mosaddeq. Agen-agen CIA milik Amerika juga siap membantu operasi penggulingan itu. Sehingga pada tanggal 16 Agustus 1953, melalui sebuah kudeta memperebutkan kekuasaan, koalisi antara Syah, militer, dan agen-agen rahasia asing (khususnya CIA) mampu mengalahkan Mosaddeq, dan tanggal 19 Agustus 1953 Syah kembali berkuasa.

Setelah Syah kembali memegang kekuasaan di Iran, persengketaan dengan beberapa perusahaan minyak diakhiri pada 1954 dengan membentuk sebuah perusahaann minyak nasional Iran dan sebuah konsorsium perusahaan minyak asing termasuk di dalamnya Anglo-Iranian Oil Company (yang berganti nama menjadi British Petroleum) dan sejumlah perusahaan Amerika. Konsorsium tersebut akan memproduksi dan memasarkan minyak dan berbagi keuntungan dengan National Iran Oil Company (Perusahaan Minyak Nasional Iran).

Perebutran kekuasaan tahun 1953 sekaligus mengakhiri periode pergolakan terbuka untuk memperebutkan kekuasaan politik dan untuk mengembalikan sebuah rezim otorier dan memusat yang didasarkan pada dukungan pihak asing, dan untuk menjalankan modernisasi sosial dan ekonomi. Rezim Mohammad Reza Syah Pahlevi yang berhasil ditegakkan kembali secara teknik merupakan sebuah kerajaan konstitusional, namun Syah memerintah dengan kekuasaan yang benar-benar absolut. Ia menguasai angkatan bersenjata dan SAVAK, mengangkat para menteri, menentukan separo Dewan Senat, dan memanipulasi pemilihan Dewan Parlemen. Elit pegawai, adnimistrator, tuan tanah, dan sejumlah pedagang kaya raya dan tokoh-tokoh agama mendominasi kehidupan politik Iran.

Iran di bawah Mohammad Reza Syah adalah monarki konstitusional yang semu. Dalam teori, Iran modern diperintah di bawah konstitusi 1906 versi baru, yang dibuat untuk menetapkan pembatasan kosntitusional bagi monarki dan ciri-ciri islami dari negara tersebut. Meskipun memiliki konstitusi modern, Iran bukanlah sebuah negara sekular dalam arti memisahkan negara dari agama. Raja haruslah menjadi pengikut Madzab Ja’fari dari Syi’ah Dua Belas (Isna Asy’ariyah) dan menjadi pelindung keya-kinan itu; parlemen harus memasukkan lima ulama terkemuka dalam keanggotaan-nya untuk menjamin bahwa tidak ada perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam. Ketentuan konstitusi ini dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Syah dan membuatnya bertanggung jawab terhadap Majlis Perwakilan. Meskipun demikian Mohammad Reza Syah, setelah kembali memegang kekuasaan pada 1953, mengabaikan konstitusi tersebut. Dia malah membangun sebuah negara berdasarkan otoritas pribadi mereka, mengidentifikasikan nasionalisme Iran dengan Dinasti Pahlevi, dan membatasi ruang gerak serta menindas ulama. Hubungan pemerintahan Mohammad Reza Syah dengan partisipasi politik rakyat berubah dari kooptasi dan kerjasama menjadi oposisi dan penindasan.

Modernisasi yang disponsori negara menimbulkan perubahan politik dan ekonomi yang berdampak panjang. Program rezim Syah menyerukan pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang memusat dan selanjutnya program itu diarahkan kepada modernisasi masyarakat yang sejalan dengan modernisasi Barat. Antara tahun 1960 dan 1977 pemerintah menempuh langkah-langkah mengkonsolidasikan pemerintahan otokratik mereka, mereformasi struktur pemilikan tanah, memoderni-sasi ekonomi industrial, memperkokoh kekuatan militer yang mengamankan supre-masi regional mereka, dan mereformasi struktur sosial negeri ini.

Dalam reformasi pertanian, pada 1962-1964 dan 1968, para tuan tanah dipaksa oleh undang-undang agar menjual kelebihan tanah kepada tuan-tanah kecil dan kepada pejabat. Namun dalam prakteknya terjadi banyak penyimpangan sehingga distribusi tanah tidak sebaik yang diharapkan. Bahkah, para pemilik tanah yang baru, lantaran kekurangan modal dan tidak menguasai teknologi pertanian, memaksa pemerintah untuk bekerja keras mempertahankan dan meningkatkan hasil pertanian. Para buruh tani yang sama sekali tidak memiliki tanah, sangat rendah penghasilannya, sehingga tidak cukup untuk mengerjakan pertanian atau untuk membayar sewa (ganti rugi) pemilikan tanah, dan mereka sama sekali tidak menerima distribusi tanah. Hal ini menyebabkan mereka berpindah ke kota untuk mencari penghasilan yang lebih layak di sana.

Sesungguhnya dorongan utama program pertanian yang dilancarkan oleh Syah adalah untuk membentuk unit-unit perusahaan korporasi dan agribisnis swasta berskala besar yang disponsori negara. Korporasi pertanian tersebut mengharuskan kaum petani menyatukan tanah mereka dan bergabung dalam perusahaan yang lebih besar, bahkan mereka akan diuntungkan karena pertanahan mereka dikerjakan secara mekanis dan pengolahnya dari petani pemilik tanah sendiri.

Dikarenakan per kapita produksi pertanian menurun pada dekade 1960-an dan 1970-an, Iran semakin tergantung pada kemajuan ekonomi perindustrian. Untuk pertama kalinya sejak dilancarkannya industrialisasi pada dekade 1930-an, Iran mengalami sebuah ledakan industri. Negara berinvestasi untuk mendukung infrastruktur industri, di mana setiap separo kekayaan negara diinvestasikan kepada sektror industri. Negara juga menyokong pertumbuhan industri dengan menaikkan bea-cukai, pajak kredit, perijinan dan beberapa langkah lainnya dan memprakarsai ledakan industri baja, karet, barang kimia, bahan-bahan banguan, dan perakitan automobile. Pertumbuhan penghasilan minyak yang meningkat pesat setelah tahun 1973 juga membantu dalam meningkatkan gross national product.

Pertumbuhan industri yang cepat itu menjadikan upah buruh terampil naik dengan pesat. Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah meningkatkan aliran urbanisasi dari desa ke kota. Antara tahun 1956 hingga 1971, berjuta kaum pedesaan hijrah ke kota. Pada pertengahan 1970-an, rata-rata 380.000 orang bermigrasi setiap tahunnya. Hal ini menimbulkan dampak yang buruk pada sektor agrikultur, dimana produksinya mengalami penurunan dan harga bahan makanan meningkat. Hanya dalam dua tahun, uang sewa di Te¬heran telah berlipat 300%. Beberapa orang mendapatkan uang dari spekulasi properti dan komisi sebagai make¬lar. Akan tetapi inflasi yang akut memukul telak kaum buruh, para petani dan borjuis rendahan.

Dampak nyata dari imigrasi besar-besaran itu adalah gubuk-gubuk kumuh yang semakin menjamur di perkotaan dan bermunculan dimana-mana. Kemiskinan yang mengerikan membayangi massa. Da¬lam situasi ini, Syah yang seharusnya menjadi figur pemerintah vang bijaksana dan “progresif” justru menghambat program pembangunan. Hasilnya adalah kemerosotan nilai ekspor secara tajam, intensifikasi yang telah ada menjadi berantakan. Kaum buruh menjawab¬nya dengan memperbanyak serikat kerja yang bergerak di pabrik-pabrik, di mana mereka melaksanakan pe¬kerjaan organisasi dan agitasi yang berbahaya di bawah pengawasan ketat agen SAVAK. Posisi negara yang tidak nyaman dalam perusahaan industrial seringkali memak¬sa otoritas untuk mengusahakan supaya agen mereka terpilih sebagai pemimpin dari apa yang disebut sebagai serikat pekerja resmi, organisasi yang dirancang oleh negara, bernama “Sindikat.” Anggota Sindikat meru¬pakan unsur utama dalam kontrol negara di dalam tubuh kaum pekerja. Kaki tangan negara ini memainkan peranan penting dalam mengeliminir gerakan kaum buruh dan memobilisasi kekuatan untuk demon-strasi dan unjuk rasa mendukung rezim.

Metode kedua untuk mempolitisir adalah mela¬lui kehadiran langsung dari agen polisi rahasia, dibawah penyamaran dalam semacam Institusi perusahaan seperti Hefazat dan Entezamat (Badan Pengamanan). Ini merupakan unit de facto SAVAK di dalam tubuh perusahaan-perusahaan. Setiap pabrik memiliki bebe¬rapa informan langsung. Entezamat dan Hefazat diawaki hampir seluruhnya oleh para kolonel dan per¬wira militer yang secara langsung terkait dengan SAVAK. Keberadaan para kolonel dan perwira militer dalam pabrik-pabrik dan struktur manajemen hirarkis membuat perusahaan-perusahaan berubah menjadi tempat teror seperti barak. Akan tetapi seluruh kendali ketat terhadap para pekerja tidak menangkal berjalannya pemogok-an. Beberapa orang memperkirakan duapuluh sampai tigapuluh aksi mogok terjadi setiap tahunnya setelah 1973.


Dengan mengesampingkan catatan yang ada, kegagalan strategi pemerintah untuk mengamankan rezim dan untuk menon-aktifkan kaum buruh terlihat secara terang-terangan. Polisi rahasia dipaksa untuk memilih penggunaan kekuatan militer untuk mengantisipasi aksi buruh kolektif. Terdapat berbagai contoh dimana tentara mengepung pabrik yang sedang dilanda pemogokan - pabrik pembuatan perkakas Tabriz, perusahaan traktor Sazi di Tabriz, perusahaan besi baja Pars dan Renault adalah beberapa contoh pada tahun 1970-an.

Pembangunan kapitalis di Iran setelah Perang Dunia 1 dan khususnya setelah Perang Dunia II secara mendalam telah merubah wajah negeri ini. Modal telah mem-penetrasi Iran dan meninggalkan jejaknya di tiap sudut masyarakat. Daerah pedesaan telah mengalami beberapa perubahan sejak land reform pada tahun 1960¬-an. Akan tetapi struktur fundamental dari masyarakat pedusunan belum berubah. Pembangunan ekonomi yang pesat dibarengi dengan konsentrasi modal di tangan segelintir orang. Empat puluh lima keluarga mengendalikan 85 persen perusahaan-perusahaan terbesar pada tahun 1974. Pembangunan kapitalis juga telah menciptakan kelas pekerja raksasa di Iran, dan dengan demikian mentransformasi sepenuhnya per¬imbangan kekuatan kelas. Fakta ini benar-benar men¬colok pemandangan tahun 1979 di saat proletariat memainkan peranan penentu dalam revolusi.

Rezim Syah secara sederhana juga mereformasi kedudukan kaum perempuan. Sejak awal dekade 1920-1n beberapa tokoh intelektual, laki-laki dan perempuan tengah berjuang untuk meningkatkan pendidikan, status sosial, dan hak-hak hukum kaum perempuan. Dalam jumlah kecil, kaum perempuan mulai memasuki pekerjaan pada sektor pendidikan, perawat, bahkan bekerja di pabrik. Meskipun emansipasi perempuan dari norma-norma tradisional telah berlangsung, namun dalam hal-hal yang krusial di dalam perundang-an keluarga dan perundangan hak-hak politik hampir tidak ada perubahan. Praktik perceraian (talâq) tetap sebagai sesuatu yang mudah bagi laki-laki. Pengasuhan anak tetap menjadi kewajiban utama pihak perempuan. Poligami dan perkawinan mut’ah tetap saja diijinkan. Hanya dengan undang-undang perlindungan keluarga tahun 1967 dan tahun 1975, hak prerogratif perempuan sebagian terlindungi oleh legislasi yang mensyaratkan perceraian harus disampaikan di pengadilan dan mensyaratkan ijin istri untuk perkawinan poligami. Pemerintah juga merencanakan memberikan hak-hak voting kepada perempuan.

Seluruh program modernisasi yang dicanangkan Syah mengacu kepada modernisasi yang telah dilaksanakan Barat. Ini adalah bagian dari keinginan rezim Syah untuk menjadikan Iran sebagai negara maju seperti Amerika atau negara Eropa lainnya. Mohammad Reza Syah terbuai mimpi, obsesi dan ambisi untuk membangun Iran yang maju, canggih, dan modern, meskipun harus menerima dan menyambut baik ‘westernisasi’. Bahkan Syah berkata: “Westernisasi adalah percobaan besar yang harus kita sambut”.
Sejak awal tahun 1960-an pemerintah Iran mulai mendatangkan tenaga-tenaga teknisi asing ke Iran. Banyaknya tenaga-tenaga pekerja asing yang masuk ke Iran, terutama yang berasal dari Amerika Serikat, menjadi salah satu faktor meluasnya pengaruh kebudayaan Barat di Iran. Sampai tahun 1978 jumlah orang Amerika yang bekerja di Iran mencapai 60.000 orang. Meluasnya pengaruh kebudayaan Barat dalam bentuk seperti pornografi, minuman keras, musik pop, film, dan tempat-tempat hiburan sangat terasa di kalangan penduduk kota terutama generasi mudanya. Hal ini oleh kalangan ulama dianggap sebagai suatu ancaman terhadap nilai-nilai agama Iran yang selama ini telah dianggap sebagai sesuatu yang menyatu dengan masyarakat Iran.

Bersamabung ke:
C. Perlawanan Kaum Oposisi

Artikel Terkait

No comments:

 
;