Saturday, May 23, 2009

GO TO HELL OTORITARIANISME! bag.4

C. Perlawanan Kaum Oposisi

Program modernisasi menimbulkan beberapa dampak yang sangat menonjol terhadap masyarakat Iran. Ia memperbanyak kader intelektual, pegawai, militer, menejer perusahaan, tenaga kerja ahli didikan Barat atau yang terdidik dalam sistem pendidikan modern. Sejak awal program tersebut membangkitkan kecemasan ulama yang akhirnya menimbulkan perlawanan kalangan ulama pedagang dan kalangan artisan, dan intelektual haluan kiri yang menentang konsolidasi kekuasaan rezim Syah, ketergantunagn pada dukungan asing, dan beberapa kebijakan yang menimbulkan suramnya ekonomi bagi kaum petani dan bagi kelas menengah ke bawah. Lebih lagi, gerakan oposisi tersebut berusaha menentang model pemerintah-an rezim yang otoriter.

Pada dekade 1960-an dan dekade 1970-an, gerakan oposisi telah tersebar luas, namun lantaran gerakan ini tidak terkoordinir sehingga dengan mudah gerakan mereka dapat dipatahkan. Partai Tudeh dan Partai Nasional dihancurkan oleh SAVAK. Minoritas Kurdish, Arab dan Baluchi diserang karena keinginan mereka untuk membentuk otonomi regional. Beberapa kelompok gerilya militan, seperti Marxis Feda’iyani-i Khalq (Fadai’an Rakyat Marxis Leninis Iran) dan Islam haluam kiri Mojahedin-I Khalq (Mojahedin Rakyat Iran Islam Radikal), demi perjuangan Syi’isme menentang nepotisme, imperialisme, dan kapitalisme. Perlawanan tersebut menimbulkan teror namun tidak mampu menggoyahkan cengkeraman rezim Syah. Pada Februari 1971, sembilan anggota Marxis Feda’iyani-i Khalq yang bersenjata berat menyerang dan merebut pos terdekat Gendarmarie di dusun Siahkal, daerah utara Gilan yang berpegunungan dan berpohon. Setelah sembilan belas hari dikepung pasukan pemerintah, ‘Ali Akbar Safa’i-Farahani, komandan operasi Siahkal, bersama Jalil Enferadi, dan Houshang Nayeri, ditangkap oleh masyarakat setempat lalu diserahkan kepada pihak militer, sisanya terbunuh dan tertangkap. Bahkan sebelum serangan terhadap pos terdepan Siahkal, sejumlah anggota aktif organisasi Marxis Feda’iyani-i Khalq diringkus oleh pihak keamanan di Teheran dan Gilan. Pada 16 Maret 1971, pemerintah mengeluarkan nama tiga belas orang yang menghadapi regu tembak, yang dituduh terlibat dalam pemberontakan Siahkal. Ini menandai awal dan akhir gerakan pemberontakan bersenjata yang bertujuan membangkitkan rakyat untuk berontak melawan rezim Pahlevi. Sebagaimana keberanian serangannya, kegagalan dramatisnya memperliatkan sia-sianya menerapkan taktik Revolusi Kuba atau Cina pada kondisi sosial di Iran.

Aktivitas militer Mojahedin-I Khalq mengikuti operasi Siahkal. Mojahedin meluncurkan serangkaian serangan berani atas sasaran sensitif seperti bendungan dan instalasi listrik, untuk mensabotase perayaan Syah. Selama akhir musim panas dan awal musim gugur 1971, SAVAK meringkus 105 orang yang dicurigai sebagai anggota sebuah organisasi gerilya kota, yang nama, ideologi dan tujuannya sangat tidak jelas bagi mereka pada masa itu. Di antara mereka yang ditahan, enam puluh sembilan diadili selama musim semi 1972, Muhammad Hanifnejad, Saeed Mohsen, ‘Ali Asghar Badi’zadegan, pendiri Mojahedin-I Khalq, bersama enam anggota Komite Sentral (Cadr-e Markazi) dari organisasi itu, dieksekusi pada April dan Mei 1972.

Tidak hanya kelompok kecil militan-radikal seperti Marxis Feda’iyani-i Khalq dan Mojahedin-I Khalq yang melakukan tindakan perlawanan (oposisi) terhadap kekuasaan Syah, tetapi oposisi itu juga muncul dari kelompok aktivis politik Islam. Salah satunya adalah yang dipimpin oleh Ayâtullah Kasyani, yang menyerukan pencabutan undang-undang sekular Syah dan pelaksanaan hukum Islam. Namun, kekuatan politik terbesar yang tampil menentang rezim Syah adalah Front Nasional pimpinan Mohammad Mossadeq, yang mencerminkan kekuatan nasionalisme modern yang lebih sekular pada waktu itu. Kelompok-kelompok Islam menjadi bagian dari kubu oposisi yang pada dasarnya dipimpin oleh Mossadeq.

Seperti dalam protes Tembakau, Mossadeq yang menghimpun koalisi menentang tindakan Syah memberikan konsesi minyak kepada Inggris dan ketergantungan ekonomi Iran, serta menyerukan langkah nasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company milik Inggris. Sebagaimana telah disebut di muka, pertikaian ini mengakibatkan Syah lari ke pengasingan-nya di Roma pada 1953. Namun, dia kembali ke Iran enam hari berselang dengan bantuan dari Inggris dan, terutama Amerika Serikat.

Pada 1962-1963, Ayâtullah Khomenei tampil sebagai suara anti-pemerintah di antara minoritas ulama vokal yang menganggap Islam dan Iran tengah terancam bahaya dan kekuasaan mereka melemah, dan yang mendukung keterlibatan politik kaum ulama. Program modernisasi Barat yang dijalankan Syah (terutama pembaharuan hukum pertanahan dan hak suara bagi kaum perempuan) dan ikatan erat Iran dengan Amerika Serikat, Israel dan perusahaan-perusahaan multinasional, dipandang sebagai ancaman bagi Islam, kehidupan Muslim dan kemerdekaan nasional Iran. Dari mimbarnya di Qum, Khomeini menjadi suara oposisi yang tidak mengenal kompromi melawan kekuasaan mutlak dan “pemerintahan” atau pengaruh asing.

“The Government has sold our independence, reduced us to the level of a colony, and made the Muslim nation of Iran appear more backward than savages in the eyes of the world! … If the religious leader have influence, they will not permit this nation to be the slaves of Britain one day, and America the next … the will not permit Israel to take over the Iranian Economy; they will not permit Israel goods to be sold in Iran – In fact to be sold duty-free! … Are we to be trampled undefoot by the boots of America simply because we are a week nation and have no dollars? America is worse than Britain; Britain is worse than America. The Soviet Union is worse than both of them … But today it is America than we are concerned with.”

(Pemerintah telah menjual kemerdekaan kita, merendahkan derajat kita sehingga kita menjadi bangsa terjajah, dan membuat rakyat Muslim Iran tampak lebih terbelakang dibandingkan bangsa-bangsa biadab di mata dunia! … Jika para pemimpin agama mempunyai pengaruh, maka mereka pasti tidak akan membiarkan bangsa ini, maka mereka pasti tidak akan membiarkan bangsa ini menjadi budak Inggris pada suatu hari nanti, dan budak Amerika pada hari berikutnya … mereka tidak akan membiarkan Israel mengambil alih ekonomi Iran, mereka tidak akan membiarkan barang-barang Israel dijual di Iran, malah dijual bebas pajak! … Apakah kita mau diinjak-injak oleh sepatu Amerika semata-mata karena kita bangsa yang lemah yang tidak punya dolar? Amerika itu lebih buruk daripada Inggris, Inggris lebih buruk daripada Amerika. Uni Soviet lebih buruk dari keduanya … Akan tetapi, kini Amerikalah yang menjadi perhatian kita”.)
Bentrokan-bentrokan yang terjadi di Qum (22 Maret 1963) dan Mashad (3 Juni 1963) menyebabkan Khomeini ditahan pada 4 Juni 1963, dan demonstrasi-demonstrasi rakyat yang dipimpin oleh ulama di kota-kota besar ditumpas dengan kejam. Khomeini diasingkan ke Turki pada 1964, lalu pindah ke Irak pada 1965 dan kemudian ke Prancis pada 1968. dari pengasingannya dia terus mengajar, menulis –misalnya Hokumât-i Islami- dan berbicara lantang menentang Syah dan mengutuk kebijakan-kebijakannya yang “tidak Islami”. Kaset-kaset dan pamflet-pamflet berisi pidato Khomeini diselundupkan ke Iran dan disebarluaskan melalui masjid-masjid. Ideologi Islamnya bersifat holistik, menampilkan Islam sebagai sebuah jalan hidup yang menyeluruh dan sempurna, yang dapat memberi tuntunan dalam kehidupan sosial politik. Meskipun didasarkan pada oposisi ulama tradisional yang telah berlangsung lama untuk menggulingkan kekuasaan monarki, namun pada kenyataannya seruan-seruan tersebut mengandung banyak inovasi. Dalam hal ini seruan Khomeini merupakan ungkapan pertanggung jawaban ulama yang paling radikal.

Ulama lainnya yang juga turut menyuarakan gema reformasi di kalangan umat agar lebih bersikap lebih kritis terhadap kekuasaan Syah adalah Mehdi Bazargan. Dalam pidatonya pada tahun 1962, ia menyatakan bahwa keterlibatan ulama secara aktif dalam politik dapat dicari landasannya dalam al-Qur’an dan tradisi keagamaan Syi’ah. Ia juga mengatakan bahwa organisasi politik dan perjuangan kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik merupakan tugas dan kewajiban setiap pemeluk Islam. Sekarang, Bazargan menambahkan, ulama tidak pantas lagi menanti secara pasip kembalinya Sang Imam, melainkan harus secara aktif mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam reformasi masyarakat itu.

Apa yang dikatakan Mehdi Bazargan itu merupakan revolusi dalam pemikiran politik Syi’ah. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah Syi’ah, bahwa ajaran Syi’ah lebih menekankan pada aspek quetisme, yaitu kecenderungan untuk bersikap pasif secara politik dan lebih mengedepankan pola hidup keberagamaan yang asketic. Quetisme Syi’ah ini muncul pertama kali pasca peristiwa Karbala, saat terbunuhnya Imam Husein dan keluarganya. Pasca peristiwa itu secara berturut-turut kelompok Syi’ah mendapat tekanan dari pihak penguasa sampai akhirnya memaksa mereka untuk bersikap diam dan pasif demi untuk menjaga esistensi mereka. Sikap diam dan pasif ini mendapatkan basis spiritualitas setelah Imam kedua belas dinyatakan pergi secara ghaib dan menjadi Imam Mahdi. Masa-masa menunggu Imam Mahdi ini lebih banyak digunakan untuk menjalani pola hidup asketic ketimbang terlibat aktif dalam kehudupan politik.

Klaim keagamaan menjadi basis bagi sebuah gerakan massa dalam menentang rezim Syah. Pada rentangan dekade 1970-an rezim Pahlevi menjadi semakin sewenang-wenang dari masa-masa sebelumnya. Pasukan militer dan polisi rahasia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan sekaligus dibenci lantaran mereka melancarkan penyidikan, intimidasi, pemenjaraan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap musuh-musuh besar rezim Syah. Di antara mereka yang sempat mengalami hal itu adalah Ahmadzadeh, pendiri Marxis Feda’iyani-i Khalq, yang menghadapi regu tembak pasukan Syah pada tanggal 8 Maret 1972. Ada pula Hamid Takovali dan Saeed Ariyah, keduanya tokoh Marxis Feda’iyani-i Khalq, yang dibunuh oleh pasukan keamanan pada musim dingin 1971/1972.

Pemerintah, oleh para oposan, tidak hanya dicaci karena kediktatorannya melainkan juga karena rezim tidak mampu mengelola perekonomian dengan baik. Penghasilan negara yang sangat besar dari sektor minyak habis untuk membeli senjata dan untuk kepentingan pribadi sekelompok kecil elit pemerintah, sementara laju inflasi memerosotkan standar kehidupan sebagaian besar pedagang, artisan (pengrajin) dan buruh pabrik. Sebagian besar warga penduduk hidup dalam kesengsaraan khususnya disebabkan penyitaan, denda, dan pemen-jaraan. Pada saat yang bersamaan, dekade 1970-an adalah merupakan periode paceklik bagi sebagain besar masyarakat petani. Jutaan petani meninggalkan kampungnya untuk pindah ke kota, di mana mereka membentuk barisan massa pengangguran dan massa yang tertindas.

Sepanjang 1970-an, oposisi terhadap Syah semakin berkembang. Tidak adanya partisipasi politik, melemahnya otonomi nasional karena ketergantungan yang semakin besar terhadap Barat, dan hilangnya identitas religio-budaya dalam masyarakat yang berkiblat ke Barat, menumbuhkan kekecewaan bersama yang melintasi perbedaan politik dan agama. Isu-isu menyangkut keyakinan dan identitas, partisipasi politik, dan keadilan sosial menjadi wacana bersama gerakan oposisi yang semakin meningkat. Para ulama banyak didatangi kaum cendekiawan sekuler maupun cendekiawan yang berorientasi Islam, yang pendapat-pendapatnya sangat berpengaruh di kalangan intelektual dan mahasiswa. Terutama, dari sudut pandang sejarah, seruan mereka mengenai bahaya alienasi budaya nasionalisme Iran telah mendapat tanggapan luas di banyak kalangan, baik sekular maupun religius, tradisionalis maupun modernis, kaum awam maupun ulama.

Wakil dari kelompok intelektual sekular yang memperingatkan bahaya yang mengancam Iran karena terlalu terpaku pada barat adalah datang dari mantan anggota partai Tudeh (Partai Komunis Iran), Jalal-e Ahmad. Ia mengatakan bahwa “westsrtuckness” (bahaya yang dibawa arus pembaratan) itu seperti penyakit kolera, karena penyakit itu sama buruknya dengan hama serangga di ladang gandum. Lebih lanjut Jalal-e mengatakan, bahwa bangsa Iran bagaikan bangsa yang diasingkan dari dirinya sendiri, dari cara berpakaiannya, model rumahnya, jenis makanan dan bacaannya, dan yang paling berbahaya di antara semua itu, adalah pendidikan Iran. “Kita menjalankan pelatihan Barat, kita menjalankan pemikiran Barat, dan kita mengikuti prosedur Barat untuk memecahkan setiap masalah”, kata Jalal-e Ahmad.

Jika Jalal-e Ahmad adalah wakil cendekiawan sekular yang mengecam westernisasi yang tengah terjadi di Iran, maka Dr. Ali Syari’ati, seorang cendekiawan lulusan Sorbonne, adalah wakil cendekiawan yang berorientasi Islam yang menyuarakan sama seperti yang disuarakan Jalal-e Ahmad. Tafsir reformis Ali Syari’ati atas Islam Syi’ah telah menggabungkan sikap anti-imperialisme Dunia Ketiga, bahasa ilmu sosial Barat, dan ajaran Syi’ah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revolusioner bagi reformasi sosial politik. Demikianlah, Syari’ati juga sangat mengecam “weststruckness”. Ia mengajak masyarakat Iran untuk meninggalkan budaya Eropa (Barat), karena menurutnya, Barat selalu membicarakan kemanusiaan, tetapi kenyataannya telah menghancurkan umat manusia di mana pun mereka menemukannya.
Tafsir ulang (reinterpretation) Ali Syari’ati atas Islam, sebagaimana teologi pembebasan Katholik di Amerika Latin, telah menggabungkan agama dengan pandangan sosialis Dunia Ketiga baik dari Che Guevara maupun Frantz Fanon. Syari’ati menekankan bahwa keruntuhan imperialisme Barat di Iran menuntut pernyataan identitas nasional dan religio budaya Islam Iran. Fokus ganda visi revolusionernya adalah persatuan/identitas nasional dan keadilan sosial untuk melepaskan diri dari cengkraman imperialisme dunia, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional, dan imperialisme budaya, rasisme, eksploitasi kelas, perbedaan kelas, dan gharbzadegi (weststruckness).

Kondisi politik di Iran di bawah rezim Syah, menurut Syari’ati, sebagai negara jajahan Barat (weststruckness), negara yang tidak lagi mempunyai identitas dan mengalami pembaratan dalam segala bidang kehidupan. Pembaratan yang dimaksud Syari’ati adalah berbagai proyek modernisasi yang telah dilakukan oleh rezim Syah dalam segala segi kehidupan masyarakat dan bangsa Iran. Modernisasi itu meliputi pembaharuan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, pertahanan keamanan yang “Barat centris” sehingga ujung-ujungnya adalah sekularisasi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Iran. Walaupun Iran secara formal menegaskan jati dirinya sebagai negara yang berdasar Islam-Syi’ah, akan tetapi dalam realitas sehari-harinya sangatlah jauh dari prinsip-prinsip nilai dasar (Basic values principles) Islam.

Kesempatan Syari’ati untuk melancarkan kritik yang sangat keras terhadap rezim Syah adalah pada saat Syah merayakan 2500 tahun pemerintahan monarki di Iran, di makam Cyrus yang Agung di Persepolis. Hadir dalam kesempatan tersebut para Kepala Negara dari berbagai negara sahabat dan para tokoh terkemuka yang sengaja dihadirkan Syah untuk melihat betapa kekuasaan Syah mewarisi keagungan Cyrus sang pendiri kerajaan di Persia (Iran). Syah juga ingin memperlihatkan para hadirin akan kesuksesan Iran membangun negerinya berbasis modernisme Barat dan kekuatan militer di bawah dinasti Pahlevi. Syari’ati dalam kesempatan yang sama menyampaikan ceramah di hadapan 5000 pendukungnya di Husseiniyeh Ersyad, mengingatkan pendukungnya bahwa Iran, selama 5000 tahun berada dalam situasi ketidakadilan, penindasan, diskriminasi kelas, serta perampasan. Sekarang tibalah saatnya, seru Syari’ati, Rakyat Iran bangkit untuk melawan dan meruntuhkan sistem ekonomi dan politik, yang di puncaknya Syah berdiri.
Gagasan dan pandangan Mehdi Bazargan, Jalal-e Ahmad, dan Ali Syari’ati mempengaruhi satu generasi mahasiswa dan cendekiawan. Mereka berasal dari kalangan tradisional dan kelas menengah modern dan banyak dari mereka yang lulusan universitas-universitas sekular di bidang sains dan teknik. Sebagian besar berasal dari perkotaan atau mereka yang berasal dari desa-desa yang telah berpindah ke kota untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan pekerjaan sebagai akibat program modernisasi Syah. Para mahasiswa dan profesional muda yang berorientasi Islam bergabung dengan kaum ulama, santri dan pedagang, sehingga yang muncul dalam gelombang perlawanan rakyat terhadap Syah adalah mewakili spektrum ideologi dan profesi yang luas, meliputi; penulis, penyair wartawan, profesor dan mahasiswa, kelompok nasionalis liberal dan marxis, kaum sekularis, tradionalis, dan moderrnis Islam.

Berbagai gelombang oposisi yang dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat sebagai respon terhadap berbagai kebijakan rezim Syah, ditanggapi oleh rezim dengan tindakan-tindakan represif. SAVAK mempunyai andil yang cukup besar dalam upaya-upaya untuk membungkam para pembangkang, sehingga rezim Syah semakin tergantung kepadanya. Kondisi ini memberikan alasan bagi semakin menggeser gerakan oposisi yang didukung rakyat luas, dari berwatak reformis menjadi revolusioner. Islam Syi’ah kemudian tumbuh sebagai sarana paling aktif yang berakar kuat di kalangan rakyat untuk memobilisasi di kalangan massa yang efektif. Ia menawarkan kesadaran bersama tentang sejarah, identitas, lambang-lambang, dan nilai-nilai. Syi’ah menawarkan suatu kerangka ideologi yang memberi makna dan legitimasi bagi gerakan oposisi dari kaum tersisih dan tertindas, yang dengannya berbagai fraksi menemukan citra diri dan di dalamnya mereka dapat berfungsi. Sistem ulama-masjid melahirkan kepemimpinan dan organisasi religio-politik, jaringan pusat-pusat komuni-kasi dan aksi politik berskala nasional, serta memunculkan pemimpin-pemimpin yang berakar di kalangan rakyat. Para ulama seperti Ayâtullah Khomeini, Muthahhari, Taleqani, dan Bahesti, bersama para cendekiawan seperti Mehdi Bazargan dan Ali Syari’ati, telah mengembangkan ideologi pembaharuan dan revolusioner yang bersifat Islami. Terpengaruh oleh tulisan-tulisan para aktivis Islam Sunni seperti Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb dari Ikhwan al-Muslimin di Mesir, Maulana Abu al-A’la Maududi dari Jamaat-i Islami, dan Muhammad Iqbal dari Pakistan, mereka melakukan penafsiran ulang atas sejarah dan keyakinan Syi’ah untuk menaggapi kondisi setempat yang mereka hadapi.

Pola aliansi kaum ulama dan cendekiawan, atau masjid-kampus, di bawah panji-panji Islam dibangkitkan kembali pada akhir 1970 dan menemukan momentum yang tepat untuk menjadi kekuatan revolusi mulai tahun 1977 sampai 1979. Aliansi tersebut memberikan legitimasi agama dan keaslian budaya (religion-state-culture identity), serta menumbuhkan sumber-sumber ekonomi yang mandiri. Isu-isu menyangkut dominasi asing, pelestarian identitas dan otonomi nasional, konstitualisnme, dan kedudukan hukum Islam dalam negara, dimunculkan sebagai isu untuk melawan rezim Syah. Ulama dalam hal ini, berbeda saat Revolusi Tembakau maupun Revolusi Konstitusional, tidak sekedar berpartisipasi, tetapi langsung memimpin Revolusi 1979 untuk menggulingkan rezim Syah.

Bersamabung ke:
D. Peristiwa Revolusi Iran

Artikel Terkait

No comments:

 
;