Oleh : Ahmad Wasim
NAMPAKNYA, seperti tahun-tahun sebelumnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2010 ini akan di rayakan dengan ritual-ritual peringatan 17 Agustus 1945 seperti biasanya. Diawali upacara bendera pada pagi harinya, kemudian dilanjutkan dengan pesta rakyat dan perlombaan-perlombaan yang melambangkan (seharusnya mengingatkan kita akan) gigihnya perjuangan para pahlawan kemerdekaan dahulu kala.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi (65 tahun), negara ini mestinya sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana diamanatkan para founding fathers. Harapan itulah yang disandarkan pada peringatan ulang tahun kali ini.
Ancaman hari ini
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah negara kita benar-benar merdeka dan lepas sama sekali dari penjajahan bangsa lain, baik secara fisik, ideology, teknologi dan ekonomi? Secara fisik, memang kita sudah berdaulat dengan memiliki pemerintahan yang tertata dengan solid. Tidak ada lagi penjajahan secara fisik seperti dulu Belanda dan Jepang menjajah kita. Tetapi secara ideologi, teknologi dan ekonomi, kita justru lebih menderita ketimbang penjajahan sebelumnya.
Menurut Agus Wibowo dalam tulisannya yang dimuat Harian Bali Pos, ada beberapa ancaman bangsa ini yang mesti di pecahkan. Kebijakan ekonomi liberal dan perdagangan pasar bebas, apalagi system monopoli, di sinyalir menguntungkan mereka para investor plus technician yang di datangkan dari Amerika. kasus Freeport, Exon Mobil, adalah contoh beberapa tahun silam sampai sekarang.
Selanjutnya, tanpa kita sadari, konsep globalisasi yang dicetuskan Amerika, lambat-laun akan mencabik-cabik keutuhan kebhinekaan kita.
Fenomena itu, kerap melanda kesatuan bangsa ini. Misalnya konflik antaretnis (Tioghoa vs pribumi), antarsuku (Madura vs Dayak), antaragama (Islam vs Kristen) di Situbondo dan Poso, munculnya benih-benih disintegrasi; kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Yang terakhir, yang sangat ideologis dan ‘meresahkakn’ adalah apa yang kita sebut sebagai gerakan ‘terorisme’. Fenomena konflik dan disintegrasi yang terus menyergap bangsa ini, menyiratkan betapa lebih mengerikannya penjajahan konsep globalisasi. Jika nation-state tidak berbenah dengan menyegarkan semangat nasionalismenya, lanjut Huntington, maka bisa dipastikan negara tersebut bakal mengalami keruntuhan. Kita tentu tidak ingin negara ini hancur lantaran globalisasi.
Menurut Alvin Toffler dalam bukunya ''The Third Wave'' (1980), problem peradaban yang disebabkan konsep globalisasi bakal mendera negara-negara bangsa (nation states) termasuk Indonesia. Lantaran canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, kata Toffler, lahirlah apa yang disebut the global village, yakni sebuah kawasan dunia ''menggelobal'' yang tidak bisa dilihat sekat-sekat teritorialnya. Keadaan ini sangat menguntungkan monopoli Amerika atas negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi raja-diraja.
Disisi lain, baru-baru ini, masyarakat kita melakukan mosi tidak percaya terhadap aparat pajak. Mosi itu dapat kita lihat indikasinya dengan banyak sekali bermunculan sentiment anti pajak baik di dunia ‘nyata’ (demonstrasi) maupun dalam dunia ‘maya’ melalui situs-situs yang banyak bertebaran dalam internet. Entah dalam jejaring social semacam facebook, twiter, maupun situs pribadi lainnya. Mafia Peradilan atau Makelar Kasus (markus) yang momentumnya di inspirasi (muncul) dari Gayus Tambunan, petugas pajak golongan III a yang penghasilan (korupsi)nya selangit. Dan anehnya, itu terjadi setelah institusi itu 2 tahun berjalan sedang melaksanakan reformasi birokrasi. Reformasi itu di tandai dengan telah mengucurnya Dana Remunerasi yang di gagas Sri Mulyani (menkeu) tahun 2007, dan telah bergulir dalam institusi pajak ini. Dengan Dana Remunerasi itu gaji pegawai pajak konon menjadi berkali-kali lipat dari PNS biasa lainnya.
Sebelumnya, Kasus Century hingar bingar ‘menggelegar’ di negeri ini. Kasus yang bernilai 6,7 trilyun rupiah ini menggoyang seluruh bangsa Indonesia. DPR RI khususnya komisi III sibuk menangani ini yang di siarkan langsung di TV nasional. Dalam rapat paripurna kasus itu di nyatakan sebagai ‘bermasalah’. Rapat itu sendiri berlangsung dengan cara yang ‘heroik’ dan penuh maneuver yang halus, mengingat di siarkan langsung oleh TV Nasional. Kasus-kasus itu menambah daftar panjang buruknya moralitas pejabat negara ini.
Mengingat kebobrokan moral para pejabat di atas, pantas saja jika kesedihan ibu pertiwi kemudian di lengkapi dengan mencuatnya kerendahan moralitas generasi mudanya. Video Porno Ariel-Luna-Cut Tari adalah bukti kebobrokan moralitas bangsa ini. Kebobrokan moral itu berbanding terbalik dengan mereka para aktivis yang gigih membela kepentingan dan kemerdekaan Palestina di timur tengah dalam waktu yang bersamaan. Kapal laut Mavi Marmara, yang di tembaki dengan tidak beradab oleh tentara Israel seolah tertutup oleh kasus-kasus local yang minus moral bangsa ini. Misi itu adalah misi kemanusiaan yang sangat heroic utuk membantu rakyat Palestina. “Bom Maksiat ini lebih dahsyat dari Bom Bali dan Bom JW Mariot Jakarta”, ungkap Habib Riziq dalam kaitannya dengan kasus video porno itu.
Penyegaran Nasionalisme
Agus Wibowo, penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa, tidak ada pilihan bagi bangsa ini, selain terus memperbarui semangat nasionalisme, sembari berusaha menghilangkan dominasi Amerika. Penyegaran nasionalisme dilakukan dengan terus mengenang dan melaksanakan semangat kemerdekan, memperteguh solidaritas dan semangat nasionalisme. Misalnya lewat penelisikan, pengkajian dan pemaknaan sejarah yang holistik. Dengan langkah seperti itu, bakal timbul kesadaran bahwa kemerdekaan yang kita nikmati merupakan hasil cucuran keringat, air mata, darah, harta dan nyawa para pendahulu kita. Oleh karena itu sudah sepatutnya bagi kita mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan kegiatan positif. Pada tataran ini, kesadaran intelektual dan wawasan pemikiran tidak bisa dinafikan dalam kepentingan terjaganya nasionalisme pada diri bangsa.
Usaha melepaskan diri dari dominasi Amerika, misalnya dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing -- sebagaimana dicetuskan tokoh reformasi Amien Rais. Dengan nasionalisme tersebut, paling tidak, kita bisa lebih banyak menikmati hasil bumi pertiwi sembari mengentaskan diri dari jeratan krisis. Usaha nasionalisasi itu, bisa dimulai dengan meninjau kembali undang-undang (UU) yang mengatur kerja sama dan investasi dengan pihak asing (termasuk Amerika). Harus diakui, dalam UU tersebut posisi tawar kita sangat lemah sehingga pihak asing bisa leluasa menjajah. Usaha nasionalisasi, tentu saja membutuhkan ketegasan dari pemerintah. Pertanyaannya kemudian, beranikah pemerintah berperan layaknya Kemal Pasya pada revolusi Iran, atau pemerintah Jepang pada era-restorasi Meiji?
Tidak kalah pentingnya, pemerintah secara integratif berusaha mengentaskan problem kemiskinan, penegakan hukum, rendahnya kualitas mutu pendidikan, penuntasan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), perbaikan pasca bencana dan kerusakan lingkungan hidup. Jika agenda tersebut terus ditunda, rakyat bakal semakin menderita lantaran terus 'dijajah' oleh tata-sistem yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Merdeka dan jayalah bangsaku.
Penegakan Keadilan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mengatakan, nasionalisme pada masa modern ini bukan lagi soal paham atau ideologi, tetapi lebih pada penegakan keadilan yang substantif dan menyeluruh di tengah masyarakat.
"Kalau kita bicara nasionalisme modern berarti kita berbicara tentang penegakan keadilan," kata Mahfud dalam pidato pembukaan dialog publik bertajuk "Akar Mafia Peradilan di Tanah Air" di Jakarta.
Menurut Mahfud, bila penegakan keadilan tidak dilakukan secara semestinya, maka hal itu bisa membuat warga negara membenci lembaga dan aparat penegak hukum. Konsekuensi dari hal tersebut, lanjutnya, bisa berpotensi menuju ke arah gerakan pembangkangan sipil yang meluas di Tanah Air. Untuk itu, ujar dia, nasionalisme modern bukanlah berarti mencari rumusan konsep-konsep nasionalisme yang diambil dari berbagai paham dan ideologi.
"Sekarang yang penting adalah penegakan keadilan", katanya.
Ketua MK juga berpendapat, gagasan munculnya separatisme juga berasal dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh sejumlah masyarakat di suatu bagian di Tanah Air. Mahfud menilai, isu terhadap separatisme hanya bisa diatasi dengan mewujudkan keadilan sebagaimana yang telah dilakukan di Provinsi Aceh.
Tafsir Ulang / Revitalisasi
Nasaruddin Umar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam kaitannya dengan masalah bangsa diatas, menulis bahwa, melihat realitas kehidupan sosial seperti ini, maka sudah saatnya kita melakukan upaya revitalisasi makna kemerdekaan. Kemerdekaan mesti kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan sosio-kultural kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Substansinya adalah pembangunan bangsa yang mandiri dalam berbagai aspek menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kita harus menolak segala upaya campur tangan asing yang tidak memberi keuntungan bagi upaya untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera itu. Aneka tambang dan segala sumber kekayaan negara lainnya mesti bisa dikelola oleh bangsa kita sendiri tanpa melibatkan pihak asing yang selama ini terbukti hanya merugikan perekonomian bangsa ini. Saya kira, aspek-aspek inilah mesti menjadi renungan kita bersama, di Hari Kemerdekaan yang bersejarah ini menuju bangsa yang mandiri di masa depan.
Kenegarawanan
Tentang Moralitas pejabat bangsa dan ‘tingkah polah’ nya serta keadilan di Indonesia, Syafiie Maarif mempunyai pendapat sendiri bahwa:
Sila kelima ini sudah sejak awal menjadi yatim-piatu. Jika saya diizinkan menggunakan ungkapan ”pengkhianatan,” maka seluruh perjalanan sejarah Indonesia modern sejak proklamasi adalah rentetan pengkhiatan demi pengkhiantan terhadap sila kelima ini. Dengan mengatakan yang serba pahit ini, tidaklah maksud saya bahwa cita-cita untuk menegakkan keadilan sudah mati suri di tengah-tengah kultur politik yang sedang dijadikan mata pencarian oleh sebagian besar politisi. Cita-cita itu masih tetap hidup dan berdenyut. Maka, ke arah tegaknya keadilan itulah putaran roda sejarah Indonesia mesti dipercepat, jika kita memang mengaku setia kepada ruh proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.
Jika bangsa ini belum juga sungguh-sungguh menerjemahkan Pembukaan UUD ini ke dalam format yang konkret untuk ”memerdekakan” wong cilik dari himpitan penderitaan panjang yang telah mereka lalui secara berketurunan, saya khawatir republik tercinta ini jangan-jangan sedang menggali kuburan masa depannya. Sudah tentu kita semua wajib mencegah agar mimpi buruk itu tidak akan pernah menjadi kenyataan, sebab itu bermakna bahwa kita telah gagal menjadi bangsa merdeka.
Dalam perspektif ini, pemimpin formal bangsa dan negara adalah garda depan untuk membimbing seluruh kekuatan masyarakat dengan memberi teladan dalam ketegasan, kearifan, dan ketulusan, kepada kita semua. Pemimpin sejati tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan, jika itu semua adalah untuk kepentingan bangsa dan negara setelah melalui hitungan yang rasional, teliti, dan berdampak jauh. Sikap ragu-ragu menghadapi situasi yang masih labil hanyalah akan memperpanjang ketidakpastian masa depan kita semua.
Akhirnya, agar kita mampu bergerak ke arah cita-cita kemerdekaan secara strategis dan mantap, maka syarat utama yang harus dipenuhi segera adalah memperbanyak jumlah negarawan pada semua tingkat, di saat bangsa ini sedang kebanjiran politisi dengan kualitas rata-rata medioker. Tugas utama negarawan adalah memikirkan nasib bangsa dan negara dengan penuh kejujuran untuk masa panjang yang tak terbatas, tidak mudah oleng oleh benturan kepentingan politik sesaat yang pada umumnya menjadi ciri para politisi sejauh pantauan saya yang mungkin saja keliru.
Pengenalan Visi Pahlawan
Rokhmin Dahuri, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam tulisannya, menambahkan :
Mengenang jasa pahlawan seperti Ir H Djuanda tidak cukup hanya dengan mengabadikannya pada nama jalan, universitas, pelabuhan, dan sebagainya. Karena, generasi kita perlu pengenalan tentang visi, ideologi, dan cita-cita luhur yang telah diperjuangkan sang pahlawan agar dapat meneruskan dan mewujudkan perjuangannya.
Kita tidak dapat membayangkan jika Perdana Menteri Ir H Djuanda tidak mengumumkan Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957. Mungkin potensi kekayaan laut Indonesia hanya sepertiga dari yang kita miliki sekarang. Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau di Nusantara. Di antara pulau-pulau itu, terdapat laut bebas (internasional) yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia.
Revitalisasi Pancasila
Secara terpisah, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat mengatakan, pemerintah ke depan harus menentukan skala prioritas untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Dalam bidang politik, konsolidasi ke-Indonesia-an harus segera dilakukan. Ciri Indonesia sebagai bangsa yang plural semakin memudar. Semangat kedaerahan semakin menguat dan interaksi antarbudaya suku-suku bangsa juga semakin melemah. Kondisi itu membuat pembangunan yang tidak merata terus berkelanjutan dan semakin memperlebar jurang antara daerah yang unggul dan daerah yang terbelakang.
Menurut Komaruddin, revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa juga harus dilakukan. Namun, penanaman ideologi itu tidak boleh menggunakan cara-cara indoktrinasi seperti di era Orde Baru, tetapi dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif.
”Presiden ke depan harus bisa meneruskan pembangunan bangsa (nation building) sebagai kelanjutan apa yang sudah dibangun Soekarno dan menjadi economic and market builder (pembangun ekonomi dan pasar) seperti yang telah dilakukan oleh Soeharto,” katanya.
Komaruddin menambahkan, demokratisasi juga harus diperkuat agar tak menimbulkan benturan atau melemahkan kohesi nasional. Namun, katanya, hal itu dapat dilakukan jika diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang baik, supremasi hukum, serta pendidikan yang berkualitas.
Pandangan Islam
Terakhir, Islam memiliki konsep kemerdekaan lebih baik. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan dengan da’wah tauhidnya yang akan menyadarkan, membebaskan, dan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia lain dan materi menuju penghambaan sejati yaitu kepada Allah Maha Pencipta, dengan mengajak kepada kebenaran, menegakkan keadilan, dan mencegah kebathilan dengan cara yang ma’ruf. Sehingga sejatinya merdeka bermakna membebaskan diri dari penghambaan selain kepada Allah. Jika konsep ini berjalan dengan benar, maka kita tidak akan menjumpai lagi bentuk-bentuk penjajahan implisit yang kulitnya menawarkan kemakmuran padahal sejatinya menghancurkan. Wallahu a’lam.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya merenungkan apa yang di katakan Azyumardi Azra, setelah beliau menelaah perbedaan mencolok semangat 17 Agustus pada masa Soekarno (yang heroic dalam setiap perayaannya) dan Soeharto (yang mengutamakan stabilitas negara dan pembangunan), sebagai berikut,
Tujuh belas Agustus adalah masa yang paling tepat untuk merenungkan kembali perjalanan bangsa ini. Masa lampau tidak mungkin kembali; dan karena itu tidak sepatutnya pula kita terus merindukan masa lampau, yang bukan tidak ada pula cacat sejarahnya. Sikap paling bijak adalah belajar dan mengambil hikmah dari masa silam, dan dengan kepala tegak menghadapi masa depan; dengan kesediaan memperbaiki kesalahan baik di masa silam maupun sekarang dan menumbuhkan semangat dan percaya diri menyongsong hari esok.
3 comments:
Great Post..!!
haiii...
nice post and abselutly nice blog..
great job..
keep up ya!
prikitiew. .
Post a Comment