Thursday, July 15, 2010

MAKNA DAN SEMANGAT KEMERDEKAAN DARI MASA KE MASA

Terlepas dari ritual mengibarkan bendera merah putih dalam sebuah upacara bendera memperingati kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai tanda kebebasan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme barat waktu itu, arti, makna dan semangat kemerdekaan bagi bangsa ini akan selalu berubah dan berbeda-beda dari satu zaman ke zaman berikutnya.

Nasionalisme Heroik

Pada masa Soekarno, presiden pertama bangsa ini, sang proklamator dan orator ulung yang pernah dipunyai bangsa ini. Seorang cerdas yang otoritas keilmuannya mampu ‘hidup’ dan di segani dalam kehidupan global baik barat maupun timur. Dalam setiap peringatan hari kemerdekaan, menurut Azyumardi Azra, adalah hari-hari penuh heroisme. Masa Bung Karno adalah waktu-waktu untuk terus menyalakan semangat anti-Nekolim (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme). Namun dengan cara itu pulalah Bung Karno memperkuat memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa ini dari sabang sampai merauke. Karena itu, salah satu jasa terbesar Bung Karno adalah sosoknya yang mampu memainkan peran sebagai solidarity maker, pencipta solidaritas dan kesatuan.

Developmentalisme

Pada masa Presiden Soeharto, suasana, semangat, dan nuansa perayaan hari kemerdekaan pastilah lain pula. Masa-masa sepanjang kekuasaan rezim Soeharto peringatan hari kemerdekaan adalah hari-hari penggalangan tekad untuk meningkatkan stabilitas nasional; meningkatkan pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi; memperbesar 'kue' nasional untuk membaginya secara lebih merata kelak suatu waktu nanti; mengukuhkan persatuan dan kesatuan; dan memantapkan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Begitu bersemangatnya pemerintah Soeharto, sehingga timbul banyak ekses yang kini diratapi kalangan bangsa kita.

New Internasionalisme

Pada masa ini, masa Susilo Bambang Yudhoyono, ada diskursus menarik yang perlu di cermati ketika dalam seminar yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dino Patti Jalal dengan bersemangat mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “kebangkitan nasional yang kedua”. Ia mengatakan bahwa sudah saatnya kita beranjak dari “kebangkitan nasional pertama” yang telah menyatukan berbagai etnis, suku, agama, dan identitas menjadi satu Indonesia kepada “kebangkitan nasional kedua” yang menempatkan Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional. Inilah yang disebutnya sebagai “internasionalisme baru” (“new internationalism”).

Pemerintah Indonesia, menurut Juru Bicara Presiden tersebut, saat ini tengah menjadikan “internasionalisme baru” menjadi platform kebijakan luar negerinya. Dengan paradigma baru inilah, hubungan dengan Negara-negara lain di arena internasional dipersepsikan dengan lebih positif. Dunia luar tidak layak untuk dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, ia harus dipersepsikan sebagai peluang. Mempercayai internasionalisme berarti mempercayai bahwa semakin kita berintegrasi dengan dunia internasional, semakin besar kemanfaatan yang akan kita dapatkan.
Dampak dari implementasi “internasionalisme baru” sebagai platform kebijakan luar negeri Indonesia adalah kebijakan yang lebih terbuka dan mudah. Artinya, Indonesia harus membuka diri dan lebih mudah bekerja sama dengan berbagai kekuatan lain, baik itu negara maupun korporasi internasional.

Dino Patti Jalal menolak jika internasionalisme ini bertentangan dengan nasionalisme. Internasionalisme, menurutnya, adalah bagian dari nasionalisme yang sebenarnya. Lebih jauh lagi, ia bahkan menyebutkan bahwa dalam tubuh bangsa ini –termasuk birokrasi pemerintahnya- tengah bersaing dua jenis nasionalisme: “open nationalism” dan “closed nationalism”. Nasionalisme terbuka adalah nasionalisme yang memandang positif kekuatan-kekuatan lain tanpa harus kehilangan kebangsaannya, sementara nasionalisme tertutup adalah nasionalisme yang selalu memandang curiga kekuatan-kekuatan asing seperti kekuatan Barat atau korporasi internasional. Pada akhirnya, ia mengajak bangsa ini untuk memilih yang pertama.

Nampaknya, pada masa SBY ini, nasionalisme model Soekarno dan Soeharto akan di teruskan (diterjemahkan) kepada internasionalisme dalam ‘teori dan praktek’ kekinian, mengingat, sebenarnya, menurut Shofwan Al-Banna Choiruzzadd (Editor Jurnal Politik Internasional ”GLOBAL” Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan peneliti ISTAL) apa yang disampaikan oleh Dino Patti Jalal bukanlah barang yang benar-benar baru dalam politik luar negeri Indonesia. Sejak kelahirannya, founding fathers negara ini telah memasukkan visi internasionalis dalam konstitusi. Mukadimah UUD 1945 menampakkan dengan jelas visi internasionalis Indonesia. Dalam praktek kebijakan, politik luar negeri Indonesia pun mengambil konsep bebas-aktif yang dikemukakan oleh Hatta. Konsep ini menegaskan dengan lugas bahwa Indonesia bukanlah Negara yang menutup diri dari dunia luar (isolasionis). Nasionalisme dan internasionalisme Indonesia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dalam bahasa Soekarno “Saripati nasionalisme Indonesia tidak bisa tumbuh kecuali dalam taman internasionalisme….”

Walaupun, sejarah menunjukkan bahwa visi internasionalis Indonesia diimplementasikan dengan berbagai versi. Internasionalisme ala Soekarno memunculkan politik luar negeri Indonesia yang agresif dan konfrontatif. Khas heroisme Soekarno. Gaya Soekarno ini jelas berkebalikan dengan gaya politik luar negeri The Smiling General yang sangat kooperatif.

Nampaknya, arti, makna dan semangat kemerdekaan bagi bangsa ini akan selalu berubah dan berbeda-beda dari masa ke masa. Sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan visi bangsa saat itu. Sudah siapkah kita penerus bangsa untuk Indonesia episode selanjutnya?

Artikel Terkait

3 comments:

Beben Koben said...

mampir sob ^^

Blogger Indonesia dukung internet aman, sehat & manfaat said...

Merdeka..!!
mantab artikelnya broo..
tetep semangat perjuangan..

Mohon Dukungannya Sob..
Thanx

iphud said...

semangat terus mas bro... :D salam kenal minta supportnya ya juga di sini thanks :D

 
;